PPKM Level 3 Dibatalkan, Qodari Merespons, Pakai Frasa ‘Bersikap Konservatif'

Jumat, 10 Desember 2021 – 09:46 WIB
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari. Foto: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia membatalkan rencana kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 pada periode Natal dan tahun baru 2022 dengan kebijakan lebih seimbang tidak menyamaratakan perlakuan di semua wilayah Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari meminta pemerintah bersikap lebih hati-hati dengan tidak mencabut penerapan PPKM Level 3 di seluruh Indonesia.

BACA JUGA: Pemerintah Batalkan PPKM Level 3, Alifudin: Bikin Masyarakat Bingung

Dia menilai mengingat potensi pergerakan masyarakat akan melonjak yang berakibat naiknya kembali kasus Covid 19.

“Seharusnya PPKM Level 3 nasional itu jangan dicabut, kita harus bersikap konservatif. Jangan over convident pada momentum Nataru ini,” ujar Qodari, Jumat (10/12/2021).

BACA JUGA: PPKM Level 3 Batal, Polda Metro Merancang Aturan Saat Liburan Nataru

Qodari menyampaikan ada 3 alasan mendesak kenapa pemerintah harus tetap menerapkan kebijakan PPKM Level 3.

Pertama, Qodari khawatir jika ledakan kasus Covid 19 kembali terjadi maka kepuasan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi akan kembali turun.

BACA JUGA: PPKM Level 3 Batal, Begini Aturan Perayaan Nataru di Jabar

Hal tersebut dia membaca dari tren beberapa survei terakhir yang menyebutkan bahwa tingkat kepuasan Presiden berhubungan dengan tinggi dan rendahnya kasus Covid-19 yang melanda di Indonesia.

“Kalau terjadi ledakan kasus maka tingkat kepuasan terhadap Presiden yang sekarang ini sangat tinggi itu nanti pasti akan mengalami penurunan lagi,” ungkapnya.

Kedua, Qodari menyebut meski hasil survei serologi Covid-19 masyarakat Indonesia sudah banyak memiliki antibodi terhadap virus. Hal itu tidak menjamin tidak ada penularan dan tidak menyebarkan virus.

“Bahwa masyarakat sudah punya imunitas itu bukan berarti tidak bisa tertular lagi, tetap bisa tertular walaupun kalau tertular tingkat keparahannya akan menurun. Yang seharusnya dirawat tidak dirawat, yang harusnya berat menjadi tidak,” kata dia.

Jika PPKM 3 tidak diberlakukan, mobilitas masyarakat yang tinggi berdampak kepada lonjakan kasus Covid-19.

Qodari menggambarkan dua pekan setelah libur Nataru pada 7-13 Januari 2021 lalu, rata-rata penambahan kasus harian sebanyak 9.948. Padahal pada awal bulan sebelumnya atau Desember 2020, rata-rata kasus harian masih sekitar 6.000 orang per hari.

“Jadi, kalau PPKM 3 ini dicabut maka mobilitas masyarakat otomatis akan mengalami lonjakan dan  kemungkinan juga kasus positif Covid-19 akan meningkat, melonjak beberapa kali lipat dibandingkan dengan sebelumnya,” kata Qodari.

Ketiga, lanjut Qodari, pada saat ini telah ditemukan varian baru bernama Omicron yang sudah ditemukan di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Salah satu ciri dari virus baru ini ialah memiliki daya infeksi yang tinggi.

Walaupun Omicron belum masuk ke Indonesia, Qodari mewanti-wanti jangan sampai virus Omicron ini menjadi bom waktu yang ledakan kasusnya seperti varian Delta.

Sebab, diduga Varian baru virus corona Omicron dilaporkan empat kali lebih mudah menular pada tahap awal dibandingkan varian Delta.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga secara resmi memasukkan Omicron menjadi variant of concern atau VOC (varian yang mengkhawatirkan).

Omicron dilaporkan memiliki lebih banyak strain atau mutasi dibandingkan varian Alpha, Beta dan Delta dan dianggap sangat menular. Tercatat, ada 32 mutasi protein lonjakan yang dibawa varian itu.

“Kita harus antisipatif. Walaupun belum ditemukan pasien yang genomnya Omicron tapi anggap saja sudah ada di masyarakat kita. Omicron ini kan salah satu cirinya berdaya infeksi tinggi, jadi nanti jangan sampai terjadi ledakan kasus seperti Delta,” papar Qodari.

Pemerintah, kata Qodari lebih baik jangan mengambil risiko dengan pencabutan PPKM level 3 ini. Sebab, virus Covid-19 yang melanda dunia belum sepenuhnya dipahami perilaku dan karakteristiknya.

“Yang namanya virus ini kita tidak sepenuhnya memahami perilakunya dan karakteristiknya. Jadi, kita lebih baik jangan ambil risiko,” tegas Qodari.

Sementara itu, Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyampaikan tingginya antibodi yang mungkin dimiliki kebanyakan masyarakat saat ini bukan berarti akan bertahan selamanya.

“Saya mengkhawatirkan dan apalagi kalau bicara survei serologi itu bukan berarti, 'Oh kita sudah kebal' enggak begitu. Kalau bicara survei serologi itu kita akan melihat kalau ditujukan pada yang belum vaksin kita tahu ada yang sudah terinfeksi, tetapi itu tidak long lasting, tidak bertahan lama imunitas," kata Dicky.

Menurut Dicky, kekebalan yang didapat dari vaksinasi maupun infeksi alamiah hanya bertahan atau optimal selama 4-7 bulan, tergantung kondisi setiap orang.

Dicky khawatir dengan adanya hasil survei ini nanti akan membuat masyarakat malah menjadi abai dalam menjalankan protokol kesehatan lantaran merasa sudah aman. Apalagi dengan kemunculan varian Omicron yang saat ini masih dalam pemantauan pada ahli.

“Namun kita tahu bahwa sekali lagi berbasis riset ini tidak akan bertahan lama apalagi ancaman Omicron,” ujar Qodari.(fri/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler