jpnn.com - Perhelatan politik pemilihan presiden Indonesia 2019 pernah menjadi bahan olok-olok wartawan internasional yang viral di media sosial.
Ketika itu jurnalis senior ABC Australia David Lipson mengatakan bahwa saling klaim kemenangan di Pilpres Amerika Serikat mirip dengan pilpres di Indonesia. ‘’Feeling like Indonesian politics,’’ begitu cuit Lipson di akunnya di Twitter.
BACA JUGA: Prabowo Kalah, Kaus 2019 Ganti Presiden Masih Dijual
David Lipson berpengalaman sebagai jurnalis yang meliput Pilpres 2019 yang diikuti oleh Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Kemudian pada 2020 Lipson menyaksikan Pilpres Amerika Serikat yang diikuti oleh pasangan Joe Biden-Kamala Harris dan Partai Demokrat melawan petahana Donald Trump-Mike Pence dari Partai Republik.
BACA JUGA: Banyak Warga Amerika Jadi Teroris Setelah Donald Trump Kalah Pilpres
Pelaksanaan pemilu di Amerika seharsunya jauh lebih rapi, karena sistem demokrasi yang sudah matang dan tertata selama lebih dari 200 tahun.
Akan tetapi, yang terjadi pada Pilpres 2020 adalah persaingan keras dua kubu yang melibatkan politik identitas dan berujung pada saling klaim kemenangan.
BACA JUGA: 2 Kali Pilpres Menyisakan Residu Politik, Membelah Masyarakat
Muncul juga ketidakpercayaan terhadap sistem pemilihan, yang berujung pada ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi dan pemerintahan AS.
Cuitan Lipson menjadi lebih ramai karena disahut oleh Ross Tapsell, akademisi Australian National University (ANU).
Tapsell dikenal sebagai salah satu Indonesianis muda Australia yang menonjol. Dia banyak melakukan penelitian sosial-politik di Indonesia dan mempunyai jaringan yang cukup luas di Indonesia.
Tapsell setuju bahwa saling klaim kemenangan di AS mirip dengan yang terjadi di Indonesia.
Akan tetapi, Tapsell menambahkan, situasinya akan menjadi lebih mirip seandainya Donald Trump—yang akhirnya kalah—bergabung dengan kabinet Presiden Joe Biden sebagai menteri pertahanan.
"Absolutely. But it's not truly Indonesian politics unless Trump ends up Biden's Secretary of Defense," tulis Tapsell.
Tapsell menyindir Prabowo Subianto yang kalah dalam pilpres, tapi kemudian bergabung dalam kabinet Jokow Widodo sebagai menteri pertahanan.
Lipson dan Tapsell secara implisit menyebut fenomena ini sebagai dagelan politik.
Dagelan politik itu bertambah menggelikan ketika kemudian Sandiaga Uno juga ikut merapat masuk ke kabinet Jokowi sebagai menteri pariwisata dan industri kreatif.
Kalau diparalelkan dengan politik Amerika maka perkembangan ini sama saja dengan Mike Pence ikut masuk ke kabinet Biden sebagai menteri pariwisata.
Tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi di Amerika Serikat. Persaingan Partai Demokrat versus Partai Republik adalah persaingan ideologi yang sudah berlangsung sejak kemerdekaan Amerika pada 1776.
Dua partai itu mempunyai perbedaan ideologi yang mendasar sehingga nyaris mustahil ada politisi yang menyebarang ke kubu lain.
Politik Indonesia pasca-reformasi adalah politik pragmatis-transaksional. Tidak ada garis ideologi yang jelas, dan semuanya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.
Dalil pragmatisme ‘’the end justifies the mean’’, terjadi dalam politik Indonesia di berbagai level. Partai politik yang mengaku secara ideologis berseberangan, ternyata nyaman-nyaman saja berkoalisi di berbagai level kontestasi politik.
Akan tetapi, Tapsell tidak akan berani secara terbuka mengecam pemerintah Indonesia, karena dia tahu bahwa isu-isu politik menjadi komoditas yang sensitif di Indonesia.
Belakangan, nama Ross Tapsell masuk dalam daftar cekal ilmuwan Australia yang dilarang masuk ke Indonesia bersama David McRae.
Tidak diketahui apakah pencekalan ini buntut dari kicauan Tapsell atau karena persoalan lain. Pemerintah Indonesia menyataan bahwa pencekalan itu dilakukan karena para peneliti itu memakai visa turis untuk masuk ke Indonesia.
Sekarang banyak peneliti Australia yang tiarap dan memilih untuk melakukan penelitian secara diam-diam tanpa publisitas.
Sindiran Lipson dan Tapsell itu sebenarnya merupakan kritik atas sistem demokrasi Indonesia yang penuh dengan anomali atau ketidaknormalan.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia sekarang sudah sangat transparan dan terpantau di ruang-ruang sosial media. Semua aktivitas politik bisa terekam dalam jejak digital yang tidak bisa dihapus.
Hal itu bisa menjadi catatan serius bagi para politisi di masa mendatang, sekaligus bisa menjadi bahan olok-olok, bahan rundungan, atau sekadar menjadi bahan humor.
Anomali politik Indonesia yang ada kemiripan dengan Amerika bukan hanya terjadi pada Pilpres 2019, tetapi juga pada Pilpres 2014.
Ketika itu lakonnya juga Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa. Lawannya adalah pasangan Joko Widodo dengan M. Jusuf Kalla.
Ketika itu juga terjadi saling klaim kemenangan. Malah ada capres yang sudah sujud syukur merayakan kemenangan berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count. Belakangan hasil hitung cepat itu berbeda dengan hasil hitung KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Saling klaim juga terjadi di AS dalam Pilpres 2020. Donald Trump dan Joe Biden saling mengklaim kemenangan karena selisih tipis dalam perolehan suara elektoral dalam proyeksi hasil Pilpres AS.
Donald Trump mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (Supreme Court) dan mengklaim telah terjadi kecurangan penghitungan.
Kubu Trump menuntut penghitungan total di seluruh negeri, tetapi tuntutan itu ditolak. Penghitungan resmi akhirnya memenangkan Joe Biden-Kamala Harris.
Trump tidak terima atas keputusan ini. Protes keras dilakukan pendukungnya di seluruh negeri.
Puncaknya terjadi ketika ratusan pendukung Trump menyerang Capitol Hill, gedung DPR AS, sambil membawa berbagai jenis senjata api, dan menduduknya selama beberapa jam.
Insiden ini dianggap sebagai kemunduran demokrasi di Amerika. Sindiran Lipson bahwa Pilpres Amerika terasa seperti Pilpres Indonesia juga menjadi sindiran tajam yang menggambarkan kemunduran demokrasi Amerika.
Menyamakan demokrasi AS dengan demokrasi Indonesia mungkin sama dengan sindiran Gus Dur yang menyamakan anggota DPRI RI dengan bocah-bocah taman kanak-kanak.
Benang biru politik Amerika masih menyambung lagi dengan politik Indonesia. Prabowo Subianto sudah mengumumkan akan maju sebagai calon presiden pada 2024.
Di Washington, Donald Trump juga mengumumkan bahwa dia akan maju lagi sebagai capres pada Pilpres 2024.
Ini berarti Donald Trump akan maju untuk kali ketiga, sedangkan Prabowo maju lagi untuk keempat kalinya.
Umur Trump 74 tahun dan umur Prabowo akan mencapai 73 tahun pada 2024.
Keduanya masih mempunyai ambisi yang panas untuk menjadi presiden.
Trump akan maju dengan tagline lama ‘’Make America Great Again’’ atau yang dikenal sebagai MAGA.
Mungkin kali ini Trump akan memodifikasi sedikit dan menjadi MAGGA, Make America Great and Glorius Again, jadikan Amerika hebat dan jaya kembali.
Dengan tema kampanye MAGA, Donald Trump mengusung politik identitas yang bertumpu pada pemilih kulit putih dan beragama Protestan yang menjadi mayoritas di Amerika.
Trump dikenal sebagai politikus garis kanan fundamentalis dan secara terbuka menyatakan anti-imigran dan anti-kulit hitam.
Tema ini akan kembali diusung oleh Trump dalam kampanyenya.
Sebelum mendapatkan tiket dari Partai Republik Trump harus mengikuti konvensi untuk bersaing dengan bakal calon presiden lain dari Partai Republik. Gubernur Florida Ron DeSantis tampaknya akan menjadi penantang utama Trump di Partai Republik, selain Senator Texas Ted Cruz, Gubernur Virginia Glenn Youngkin, mantan menteri luar negeri Mike Pompeo, dan mantan Gubernur Carolina Selatan Nikki Haley.
Tidak mudah bagi Trump untuk melawan pesaing-pesaingnya dari sesama anggota Partai Republik.
Akan tetapi, tema-tema MAGA akan tetap menarik perhatian pemilih kulit putih di negara-negara bagian pinggiran.
Dan, jika Partai Demokrat masih tetap akan memajukan Joe Biden sebagai capres petahana, kans Trump untuk menang akan cukup terbuka. Gaya politik Trump yang agresif sulit ditandingi oleh Biden yang sudah sepuh dan uzur.
Di Indonesia, Prabowo disebut-sebut akan menjadi penerus rezim Jokowi. Dia sudah mendapat endorsement terbuka dari Jokowi.
Ideologi politik Prabowo banyak kemiripan dengan Donald Trump dalam bentuk nasionalisme yang chauvinistis.
Dunia akan menanti apakah Trump dan Prabowo bisa mencatat sejarah baru, sebagai pemenang atau pecundang abadi. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror