jpnn.com, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi mengatakan, Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto sulit disandingkan sebagai pasangan capres dan cawapres di Pilpres 2019 mendatang.
Pengajar di Universitas Indonesia ini mendasari pandangannya berdasarkan sejumlah fakta yang mengemuka. Misalnya, terkait kekuatan partai politik yang berada di belakang keduanya selama ini.
BACA JUGA: Pengamat: Memilih Prabowo Bukan karena Kagum tapiâ¦
"Dilihat dari fatsun politik yang dianut Prabowo dengan Jokowi atau Gerindra dengan PDIP, atau katakanlah partai-partai pendukungnya, Gerindra-PKS-PAN dengan PDIP-PKB-Nasdem-Hanura-Golkar, akan sangat diametral," ujar Ari kepada JPNN, Senin (19/2).
Ari kemudian mengilustrasikan, Prabowo selama ini cenderung dipersepsikan sebagian kalangan berada di kutub yang haus akan kekuasaan.
BACA JUGA: Pak Jokowi Punya Waktu 6 Bulan Lagi untuk Cari Cawapres
Sementara Jokowi, di kutub yang ikhlas bekerja. Karena itu, kecil peluang menyandingkan dua kutub tersebut dalam satu alur yang sama.
"Sangat mustahil juga Prabowo yang selalu pasang target untuk RI-1 tiba-tiba mau melorot di posisi cawapres," ucapnya.
BACA JUGA: Jokowi Sebaiknya Berpasangan dengan Jusuf Kalla Lagi
Meski demikian, Ari mengakui dalam politik tidak ada hal yang tak mungkin. Semua bisa terjadi secara tiba-tiba.
"Andai Prabowo bersedia menjadi cawapresnya Jokowi, tentu dengan ego politiknya yang besar, akan meminta konsesi cukup besar," katanya.
Ari memprediksi, Prabowo kemungkinan menghendaki pos-pos strategis nantinya berada di tangan para loyalisnya. Seperti Fadli Zon. Pos-pos tersebut antara lain, Kementerian BUMN, Kemendagri, dan Kementerian Sosial.
"Kalau ini terjadi, parpol-parpol loyalis yang mengusung Jokowi sejak awal tidak akan sepakat. Istilahnya, tanpa sokongan Gerindra pun Jokowi akan menang di pilpres 2019," pungkas Ari.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Utak-atik Skenario Fadli Zon dan Fahri Hamzah jadi Cawapres
Redaktur & Reporter : Ken Girsang