jpnn.com, JAKARTA - Bertempat di Soka Gakkai Singapore Kindergarten, delegasi Indonesia Devie Rahmawati, Elly Muliawan, Youna Bachtiar dan Moe Sun Fa berdialog dengan delagasi dari Soka Gakkai Singapura (SGS) yaitu Tay Eng Kiat, Tan Chin Hee, dan pengurus senior SGS, seputar praktik pendidikan usia dini.
Mereka juga melakukan praktik dan pengabdian di Kindergarten Soka Gakkai Singapura.
BACA JUGA: Dialog Pendidikan dan Kemanusiaan Dua Negara
“Pendidikan harus dimulai dengan perasaan senang, menjadi happy learners, sehingga mampu menghasilkan jiwa dan raga yang kuat, sehingga setiap di dalam diri anak terbangun mental resilience, righteous, perseverance. Kami ingin anak-anak tumbuh dengan kejujuran, kepercayaan diri, kebebasan, namun tetap menghormati orang lain. Anak-anak memiliki kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahannya,” ujar Kepala Sekolah Soka Gakkai Kindergarten Tan Chin Hee.
Dia mengatakan filosofi pendidikan yang dikembangkan dari pemikiran para pendiri Soka Gakkai, yaitu pendidikan memupuk hati (nurturing heart).
BACA JUGA: Terima Rektor Universitas Terbuka, Bamsoet Dorong Pemerataan Akses Pendidikan Tinggi
"Praktik pendidikan inilah yang makin relevan dengan kondisi peradaban saat ini, yang menghadirkan mesin untuk hidup berdampingan dengan manusia," kata dia.
Peneliti dan Pengajar Tetap Vokasi UI Devie Rahmawati mengatakan konsep seperti mencintai, menjaga keluarga, menghormati orang tua, yang tercermin dalam praktik kesantunan dan kasih yang kuat bukan hanya kepada orang tua sendiri, namun kepada siapapun, justru sangat dibutuhkan kalau manusia ingin tetap memimpin peradaban digital.
BACA JUGA: Kapal Wisata Tenggelam di Labuan Bajo, Tim SAR Masih Evakuasi Penumpang
"Jangan kemudian justru robotlah yang menjelma menjadi 'manusia',” ujar Devie Rahmawati.
“Kami berkesempatan berinteraksi langsung dengan anak-anak TK di tiga kelas. Di sana kami melihat langsung dan turut terjun melakukan simulasi berdialog dengan anak-anak dari usia empat hingga enam tahun. Anak-anak terlihat riang, mampu berkomunikasi dengan terbuka, meskipun dengan orang dewasa," katanya.
Pengajar Universitas Esa Unggul Youna Bachtiar mengatakan proses pendidikan yang tidak menekankan pada ukuran-ukuran indikator yang kaku seperti kemampuan calistung (baca-tulis-hitung), namun menekankan pada aktivitas bermain, yang di dalamnya justru mendorong keingintahuan anak untuk terus belajar, tanpa terpaksa.
"Mereka juga memahami langsung konsep bersosialisasi yang sehat dengan bermain yang proporsional, tahu batasan untuk menghormati teman-temannya. Semisal, ketika seorang teman membutuhkan waktu sendiri, mereka akan membiarkan temannya, tanpa merasa tidak nyaman misalnya," kata Youna Bachtiar. (rhs/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Meningkatkan Kualitas Kesehatan & Pendidikan di Papua, ERHA Tempuh Cara Ini
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti