jpnn.com, JAKARTA - Tiga fraksi di DPR, yaitu Fraksi PPP, PKS dan Partai Gerindra mengusulkan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol).
Ketiga fraksi tersebut berpendapat bahwa aturan ini dibuat untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif akibat mengonsumsi minuman beralkohol.
BACA JUGA: RUU Larangan Minol, Azis Syamsuddin Singgung Omnibus Law dan Pendapatan Rp 5 Triliun
Dalam pasal 20, dikatakan bagi yang melanggar UU tersebut, akan dipidana penjara paling sedikit (3) tiga bulan dan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 50 juta.
RUU tersebut pun menuai polemik di tengah masyarakat, pengamat hukum, pelaku usaha, dan juga masyarakat lainnya.
BACA JUGA: Kendaraan yang Ditumpangi Rombongan Anggota DPRD Kecelakaan, Politikus PDIP Meninggal
Praktisi Hukum yang juga Legal director PT Birwana Gemilang Jaya/Beervana Indonesia, Arfito Hutagalung mengatakan, ketentuan tentang penggunaan alkohol yang membahayakan sudah diatur, yaitu Pasal 492 dan Pasal 300 KUHP.
Begitupun Menteri Perdagangan Indonesia telah mengeluarkan Permendag Nomor 25 Tahun 2019 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Minuman Beralkohol.
“Semua itu sudah dipikirkan dengan matang dan telah diatur dengan baik oleh pemerintah,” ucap Fito dalam keterangannya.
Jadi, menurut fito, tidak semua hal mesti diselesaikan dengan Undang-undang. Ada banyak daerah yang berpotensi dengan hasil Minol tradisionalnya, dan hal tersebut tak luput merupakan bagian dari budaya yang telah lama ada di diri masyarakat Indonesia. Yang apabila dikelola dengan baik, dapat dikembangkan dan bahkan diperkenalkan ke dunia internasional.
Alih-alih soal RUU Minol, Fito berpendapat, sebaiknya DPR membahas RUU yang lebih mendesak dan yang selama ini terabaikan, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) maupun RUU lainnya.
“Yang dibutuhkan saat ini adalah ketegasan aparat terkait fungsi pengawasan dan maraknya penjualan minol ilegal. Sehingga ketakutan DPR dapat teratasi dengan baik,” kata Arfito.
Justru apabila RUU ini disahkan, kata dia, maka akan memberi dampak negatif untuk peradilan pidana di Indonesia. Kata dia, cukup sudah membuat kebijakan yang berorientasi pada pidana.
Menurutnya, Peraturan Menteri saat ini sudah cukup bagus dan patut diapresiasi. Sebab, kata dia, peraturan tersebut telah mempersempit ruang gerak peredaran dan konsumsi minuman beralkohol ilegal. Hanya saja tata kelola dan pengawasan masih perlu diperkuat. Baik itu soal umur, maupun legalitas penjualan.
“RRU ini apabila diundangkan, tidak hanya berdampak pada pelaku usaha. Namun juga berdampak pada pariwisata nasional, dan nasib hidup orang banyak,” pungkasnya.
Lanjutnya lagi, DPR lebih elok membahas soal maraknya peredaran narkoba di bangsa ini. Selain itu, korupsi dan radikalisasi juga harus menjadi perhatian serius di DPR.
“Itu justru lebih memabukkan dan menimbulkan efek negatif yang lebih besar bagi bangsa ini,” tegas Fito, sapaan akrabnya.
Di tengah kondisi negara yang dilanda pandemi Covid-19 saat ini, kata dia, DPR jangan malah sibuk mengurusi minuman beralkohol.
Yang dibutuhkan masyarakat saat ini, kata dia, adalah dukungan, baik dari eksekutif maupun legislatif.
“Kita semua tahu bahwa saat ini sedang terjadi pengangguran besar-besaran, PHK, dan juga UMKM banyak yang tumbang. Nah, ini yang harus kita pikirkan. Bagaimana supaya UMKM tetap jalan, pengangguran dapat ditekan, dan lapangan pekerjaan dibuka,” ujarnya.
Ia pun membeberkan, hingga saat ini penderita Covid-19 masih terus bertambah. Pertanggal 11 kemarin, jumlah positif Covid-19 menyentuh angka tertinggi, yaitu 5.444. Ini menjadi rekor terbanyak penderita positif Corona dalam satu hari.
“Sebaiknya DPR memikirkan, bagaimana supaya penderita Covid-19 dapat ditekan dan fokus pada apa yang memang sudah menjadi program kerja nasional saat ini. Sehingga apabila Covid-19 sudah berlalu, perekonomian bangsa bisa kembali berjalan normal,” tandasnya. (rhs/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti