Praktisi Pendidikan Ragukan Survei yang Sebut Minat Baca Orang Indonesia di Atas Negara Maju

Rabu, 04 September 2019 – 15:47 WIB
Pengamat dan Praktisi Pendidikan Indra Charismiadji. Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Praktisi pendidikan Indra Charismiadji meragukan hasil survei World Reading Habits 2018. Survei tersebut menunjukkan minat baca orang Indonesia di atas negara maju. Menurut dia, survei itu cuma menghitung responden yang membaca di dalam perpustakaan.

Berbeda dengan negara maju seperti Eropa dan Amerika. Mereka gemar membaca bukan lagi sebatas slogan, melainkan sudah dipraktikkan dalam bentuk kebiasaan.

BACA JUGA: Survei: Trump Makin Dibenci Kaum Muda Amerika

"Surveinya itu bukan gemar membacanya, tapi membaca di dalam perpustakaan. Karena negara maju tersebut gemar membacanya lebih dari kita, tapi karena sudah era digital mereka tidak lagi berpatokan pada kertas, tapi pada e-book," kata Indra, Rabu (4/9).

BACA JUGA: Ketua BMI Dukung Pemkab PALI Tingkatkan Minat Baca Masyarakat

BACA JUGA: Jokowi Ingin Perkuat Ekonomi Digital, Tetapi Masih Kekurangan Programmer

Dia menyebutkan, masyarakat di negara maju lebih lama membaca. Perpustakaan daerah penuh dengan orang. Mereka, kalau butuh hiburan, membaca. Sudah habit. Cara mereka belajar juga beda.

Berbeda dengan Indonesia yang masyarakatnya lebih senang mendapatkan informasi singkat di medsos. Mereka lemah dari sisi literasi karena malas membaca buku atau tulisan panjang.

BACA JUGA: 8 Poin Catatan dari Indra seputar PPDB 2019 Sistem Zonasi

Rendahnya literasi juga dilihat dari siswa-siswi. Siswa Indonesia baru sekadar bisa membaca tapi masih kesulitan dalam memahami apa arti dari bacaan yang dibacanya tersebut.

Indra mengungkapkan, hasil dari penilaian yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yakni "Indonesian National Assesment Programme", hanya 6,06 persen siswa di Tanah Air yang memiliki kemampuan membaca yang baik. Sisanya yakni 47,11 persen cukup dan 46,83 persen lagi memiliki kemampuan membaca yang kurang.

"Literasi anak-anak Indonesia sangat lemah. Ini didukung oleh kajian luar negeri seperti UNESCO, dan bahkan Balitbang (Kemdikbud) sendiri, juga menunjukkan kemampuan literasi anak-anak kita lemah," terang Indra.

Kondisi itu diperburuk dengan belum adanya cetak biru (blue print) pendidikan di Indonesia. Kendati sudah memiliki anggaran khusus pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Namun tanpa blue print, pendidikan tidak memiliki fokus.

Karena itu, jika pemerintah berniat membenahi pendidikan, Indra menyarankan agar perbaikan dilakukan mulai dari tingkat dasar, yakni taman kanak-kanak (TK).

Siswa TK, kata Indra, jangan dibebani dengan kewajiban baca tulis hitung (calistung). Dan sebaliknya, dibiarkan bebas bermain untuk mengembangkan imajinasi mereka. Siswa TK harus banyak mendengarkan cerita.

"Orang tua indonesia ini kan kebiasaan, karena ingin melihat anaknya pintar, sejak kecil disuruh les ini les itu," tandasnya. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengamat Pendidikan: Pemda Belum Paham Tujuan PPDB Sistem Zonasi


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler