jpnn.com, JAKARTA - Pakar Sebut Pinjaman Pendidikan Berbentuk Fintech Punya Manfaat Besar
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya Student Dr. Algooth Putranto menilai stundent loan atau pinjaman pendidikan bagi pelajar dalam bentuk financial technology (fintech) bermanfaat besar untuk meningkatkan inklusi pendidikan.
BACA JUGA: Polda Sumut Tetapkan Kepala Dinas Pendidikan Batu Bara Tersangka Kasus Korupsi
Menurutnya, kehadiran fintech yang sudah mendapatkan izin dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Oleh karena itu, bisa menjadi salah satu alternatif bagi pembiayaan pendidikan tinggi bagi para pelajar dan orangtuanya.
BACA JUGA: Putri Anies Bahas Pendidikan hingga Lapangan Pekerjaan dengan Anak Muda Serang
"Terobosan ini untuk mempermudah calon penerima dana dengan menyediakan sumber pendanaan," kata Dr. Algooth Putranto, seperti dikutip, Selasa (6/2).
Dr. Algooth menjelaskan keunggulan fintech yang memperoleh izin dan diawasi oleh OJK mencakup transparansi biaya dan kerahasiaan data.
Selain itu, proses penyaluran dana cenderung lebih mudah dibandingkan perbankan atau pembiayaan lainnya, sehingga menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan tinggi.
"Lantas dengan melambungnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia belakangan ini, selama belum ada skema atau regulasi yang memadai dari pemerintah dalam bentuk student loan atau sejenisnya, maka masyarakat membutuhkan alternatif pembiayaan," katanya.
Dr. Algooth menyebutkan selama ini tak sedikit yang bergantung kepada kerabat, tetangga, kenalan, koperasi, atau malah rentenir.
Fintech hadir untuk mengisi kekosongan yang sejauh ini belum dapat dipenuhi oleh pemerintah.
Dr. Algooth mengatakan fenomena pinjaman pendidikan bukan hal baru di Indonesia.
Fenomena ini sudah pernah muncul pada tahun 1980-an ketika pemerintah memperkenalkan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI).
Sayangnya, program tersebut berakhir kacau karena banyak kasus moral hazard yang dilakukan penerima KMI.
"Banyak mahasiswa penerima KMI kabur dan tidak melakukan pencicilan kepada BNI 46 selaku penyalur KMI," ucap Algooth.
Dia mengaku sebagai generasi korban kelakuan mahasiswa penerima KMI pada 1980-an yang kabur tidak mengembalikan pinjaman, sehingga KMI dihentikan pemerintah.
"Jadilah orang tua saya harus pinjam kanan-kiri untuk biaya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ibu saya yang PNS harus pinjam ke koperasi, yang bunganya tidak diatur dengan jelas," tutur Algooth.
Algooth menambahkan kegagalan KMI memberi pembelajaran berharga bagi pemerintah, khususnya OJK dalam menerapkan mekanisme check and balance dalam mengurangi risiko kendala pembayaran oleh penerima dana. Fintech ditekankan untuk bekerja dalam koridor Know Your Customer (KYC) dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Laporan Statistik Pendidikan Tinggi 2022, mencatat terdapat 250.134 mahasiswa menghentikan studi pada tahun tersebut. Laporan itu mengungkapkan ada 84.546 (22 persen) mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang putus kuliah.
Walaupun bukan semuanya dikarenakan biaya kuliah, dia melihat ada kekhawatiran yang semakin meningkat terhadap potensi ketidakmampuan mahasiswa atau wali dalam membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) belakangan ini.
"Tentunya masalah semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara maju umumnya menerapkan sistem student loan, yaitu metode pembayaran biaya kuliah yang menggunakan skema cicilan," ujar Algooht.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul