Praperadilan IAS, Laica Marsuki: Kejar Unsur Diskresinya

Senin, 04 Mei 2015 – 02:27 WIB
Praperadilan IAS, Laica Marsuki: Kejar Unsur Diskresinya

jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Pakar ilmu hukum administrasi dan tata negara, Prof Laica Marzuki mengatakan banyak kepala daerah yang berpeluang terjerat hukum meski yang dilakukannya sebenarnya hanyalah diskresi. Menurutnya, hal ini juga berpeluang terjadi pada kasus dugaan korupsi PDAM Kota Makassar yang menjerat Ilham Arief Sirajuddin (IAS).

UU nomor 30  tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan menyatakan  diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

BACA JUGA: Tersinggung Pemerintah Belanda, Menteri Jonan Batalkan Agenda

Mantan wakil ketua Mahkamah Konstitusi ini berharap, dalam sidang praperadilan yang akan dimulai Senin (4/5) hari ini, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hakim bisa jeli mengejar unsur diskresi ini.

"Saya tidak bisa memengaruhi hakim, tetapi saya berharap hakim praperadilan itu kiranya memperhatikan apakah yang dilakukan oleh Walikota Makassar ketika itu merupakan diskresi atau tidak. Diskresi itu adalah kebijakan. Dan jika terbukti kebijakan tersebut adalah  diskresi maka tentu saja apa yang dilakukan Ilham tidak bisa dihukum," tegas Laica Marsuki, kepada Fajar Online (Grup JPNN.com) Minggu (3/5).

BACA JUGA: Sukur: Jokowi dan Megawati Baik-Baik Saja

Laica juga menegaskan pandangannya soal penetapan tersangka yang kini tergolong sebagai objek praperadilan.

"Penetapan tersangka itu sudah saatnya menjadi objek praperadilan. Karena KUHAP pasal 77 itu dibuat tahun 1981 itu sudah tidak memenuhi rasa keadilan," sambung Laica.

BACA JUGA: Ibunda Meninggal, IAS Dipastikan Absen di Sidang Praperadilan

Alasannya, pasal itu hanya mengatur sah tidaknya penahanan dan penangkapan. Padahal menurut Laica, semuanya itu harus berawal dari tersangka.

"Ketika seseorang dipersoalkan sah tidaknya penahanan dan penangkapan, pasti berawal dari tersangka. Jadi keputusan MK itu sudah sesuai dengan azas keadilan dan melindungi hak asasi manusia," sambungnya.

Laica meminta hakim itu jangan sekadar menjadi terompet  undang-undang. Jangan asal menjalankan apa yang dikatakan oleh undang-undang. Hakim harus lebih maju. Harus berpikir kreatif dalam menemukan keadilan.

"Jangan lupa pasal 24 ayat 1 UUD 1945 menyebut bahwa kekuasaan kehakiman itu adalah menegakkan hukum dan keadilan. Artinya, manakala suatu aturan perundang undangan dirasakan sudah tidak adil lagi, artinya itu sudah inkonstitusional," tutupnya. (fajaronline/awa/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Enam WNI di Nepal Belum Dapat Dihubungi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler