jpnn.com - JAKARTA - Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Ferry Kusuma mengatakan, KontraS menemukan tiga persoalan yang menunjukkan kejaksaan di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Prasetyo gagal menjalankan fungsinya dalam upaya penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Pertama, penyidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak dilakukan oleh Jaksa Agung. Selama 13 tahun (2002-2015), kata Ferry, Jaksa Agung tidak pernah mau melakukan penyidikan atas tujuh berkas perkara pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM.
BACA JUGA: KPK Tuntut OC Kaligis Dihukum 10 Tahun Penjara, Sudah Setimpal?
Jaksa Agung selalu mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan berbagai macam alasan. "Alasan yang digunakan bertentangan dengan sejumlah undang-undang serta putusan Mahkamah Konstitusi," tandas Ferry yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan dalam penjelasan "Catatan Kinerja Kejaksaan Paska Satu Tahun HM Prasetyo", di Jakarta Rabu (18/11).
Kedua, dia menegaskan, Jaksa Agung diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dengan membentuk tim kasus masa lalu untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui rekonsiliasi atau proses penyelesaian di luar hukum.
BACA JUGA: Akhirnya, Sudirman Said Serahkan Bukti Rekaman ke MKD
Menurut dia, tindakan Jaksa Agung tersebut bertentangan dengan tugas dan wewenang kejaksaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI juncto pasal 21 ayat (1) UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Selain itu, Prasetyo juga melanggar sumpah Jaksa Agung untuk senantiasa menegakkan hukum dan keadilan," kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS itu.
BACA JUGA: Di Kepri, Ada Guru Jual Gelang Untuk Biayai Sekolah
Ketiga, dia menambahkan, inkonsistensi penegakan hukum dengan terus dilakukannya penerapan pidana mati terhadap terpidana kasus narkotika oleh Kejagung. "Hal ini tentunya telah mengesampingkan prinsip supremasi hukum di Indonesia," tegasnya.
Menurut dia, berkaca pada kasus eksekusi mati gelombang I dan II yang telah dilakukan Januari dan April 2015 lalu, tidak ada mekanisme koreksi dan ruang evaluasi yang dilakukan oleh Kejagung.
"Seperti misalnya terkait dengan ruang transparan bagi terpidana mati, tim kuasa hukum maupun publik untuk mendapatkan keterangan yang valid tentang proses hukum dari ke-16 terpidana mati tersebut," katanya.
Keempat, lanjut Ferry, pasal 30 ayat (1) huruf e UU nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa setelah P-21, penuntut umum dalam rangka melakukan penentuan sikap atas suatu berkas perkara sebenarnya mempunyai wewenang untuk melakukan suatu pemeriksan tambahan atas hasil penyidikan.
Tujuan dari adanya pemeriksaan tambahan ialah agar memastikan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik telah dilakukan sesuai hukum dan mempunyai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan di persidangan.
Dalam monitoring KontraS, Kejagung tidak pernah memberikan akses hukum yang adil bagi terpidana mati. Seperti tidak adanya akses hukum yang memadai bagi terpidana, termasuk akses bantuan hukum bagi terpidana miskin, tidak diberikannya penterjemah tersumpah khususnya bagi terpidana yang merupakan warga negara asing, keterlambatan menginformasikan pihak kedutaan besar, hingga mengeksekusi mati terpidana yang mengalami kelainan jiwa.
Inkonsistensi Kejaksaan Agung juga dibuktikan dengan minimnya informasi tentang pelaksaan eksekusi mati yang diberikan terhadap terpidana mati dan kuasa hukumnya sehingga berakibat pada peliknya proses hukum yang tengah diproses oleh setiap terpidana.
"Baik melalui peninjauan kembali, uji materil konsep grasi dan upaya-upaya hukum lainnya yang masih potensial dilakukan oleh seluruh terpidana mati," ungkapnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Parah! Kata Menteri Rizal Ramli Kualitas Menteri Kabinet Kerja KW 2!
Redaktur : Tim Redaksi