Premium Rp 6.500 jadi Jalan Tengah

Senin, 23 Januari 2012 – 04:48 WIB

JAKARTA - Program pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan lebih efektif jika dibarengi dengan kenaikan harga. Dengan demikian, beban subsidi yang selama ini ditanggung pemerintah akan berkurang secara signifikan.

Menurut Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, pembatasan dan menaikkan harga BBM bersubsidi harus dilakukan secara bertahap. Guru besar ilmu ekonomi dan pengelolaan lapangan minyak dan gas ITB ini menambahkan, sebagai akademisi ia menilai opsi menaikan harga lebih bagus. Karena sekali bisa menaikan harga BBM, pemerintah sekarang dan yang akan datang bakal senang. Dengan menaikan harga, pemerintah akan memiliki lebih banyak uang untuk pembangunan.

Jika pemerintah masih merasa sulit menghadapi risiko yang ditimbulkan naiknya harga BBM subsidi, itu bisa dimulai dengan program pembatasan. "Tapi setidaknya, jangan sampai opsi pembatasan dan menaikan harga BBM tidak jalan dua-duanya," ujar Widjajono.

Sebagai langkah awal mencabut subsidi, ia mengusulkan pemerintah menjual premium sesuai harga pasar, tetapi pajak dan biaya distribusi tetap ditanggung pemerintah. Harga premium terdiri atas biaya premium, biaya alpha, dan pajak. Biaya alpha adalah biaya distribusi ditambah margin.

Nah, jika harga ekonomis Rp 8.200 per liter dikurangkan biaya alpha dan pajak, maka didapati harga Rp 6.500 per liter. "Ini opsi jalan tengah. Dengan harga Rp 6.500 per liter, pemerintah tidak lagi mensubsidi premium. Hanya menanggung biaya distribusi dan pajak," kata Widjajono.

Intinya, lanjut dia, negeri ini harus mengurangi subsidi BBM. Karena subsidi model ini tidak tepat sasaran. Selama ini BBM bersubsidi lebih banyak digunakan oleh kalangan bermobil. Subsidi akan tepat sasaran jika diperuntukan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

"Kita juga harus mengurangi ketergantungan terhadap minya. Sebab harga minyak dunia terus naik dan suatu saat akan habis. Kalau subsidi dikurangi, orang yang menggunakan gas dan bahan bakar nabati akan lebih banyak," jelasnya.

Masyarakat Indonesia tidak boleh meniru orang Nigeria yang protes keras ketika harga BBM dinaikkan oleh pemerintahnya. Pasalnya, Nigeria memiliki cadangan minyak 9 kali lebih besar dari Indonesia. Produksinya 2,5 kali lebih banyak, jumlah penduduknya hanya setengah dari penduduk Indonesia, sehingga pemakaian minyak domestik hanya 25 persen dari total produksi. "Dengan kondisi seperti itu, wajar orang Nigeria protes kenaikan harga minya," jelas Widjajono.

Sedangkan produksi minyak Indonesia hanya 900 ribu barel per tahun, impor sudah mencapai 700 ribu barel per tahun. Uang pemerintah banyak dihabiskan untuk impor minyak. Pengasilan Indonesia dari minyak pada 2011 sekitar Rp 270 triliun. Subsidi transportasi menghabiskan 165 triliun, dan subsidi listrik Rp 45 triliun.

"Akibatnya, Rp 225 triliun dihabiskan dihabiskan untuk subsidi. Padahal penghasilan kita dari minyak hanya Rp 270 triliun. Kita seperti negara tidak memiliki minyak. Kenapa uang hasil minyak itu tidak kita gunakan sepenuhnya untuk pembangunan. Kalau itu dilakukan, Indonesia akan cepat sekali majunya," kata Widjajono. (dri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Garuda Sulit Imbangi Pertumbuhan Haji


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler