Presiden Dinilai Kurang Melindungi Konstitusi

Senin, 22 Oktober 2012 – 06:17 WIB
JAKARTA - Intoleransi di Indonesia dinilai semakin mengkhawatirkan. Salah satu dampaknya, jumlah kekerasaan atas nama agama kepada mereka yang berbeda agama pun meningkat. Pada 2011 lalu, seperti dicatat Wahid Institute,  terdapat 92 kasus kekerasan atas nama agama. Angka ini meningkat 18.0 persen dibanding setahun sebelumnya, 2010, yang hanya 62 kasus.

Akibatnya, mayoritas publik menilai presiden, politisi, dan polisi kurang maksimal dalam melindungi konstitusi. Hal ini didasari survei terbaru Yayasan Denny J.A. dan LSI Community yang dirilis Minggu (21/10).

Menurut peneliti LSI Community Ardian Sopa, survey nasional ini dilakukan di semua provinsi di Indonesia dengan metode sistem pengacakan bertingkat (multistage random sampling). Jumlah responden 1.200 orang dengan  margin of error plus minus 2.9 persen. Survei dilaksanakan pada 1-8 Oktober 2012. Untuk mendalami substansi dan analisis, dilakukan juga Focus Group Disscusion (FGD) dan in-depth interview.

Menurut Sopa, mayoritas publik tidak puas dengan kinerja presiden, politisi, dan polisi dalam menjaga kebebasan warga negara dalam menjalankan keyakinannya. Sebesar 62.7 persen publik tidak puas dengan kinerja presiden dalam menjaga hak-hak warga negara dalam menjalankan keyakinannya. Sebesar 58.1 persen publik tidak puas dengan kinerja politisi. Dan 64.7 persen publik tidak puas dengan kinerja polisi.

“Bahkan, ketidaktoleransian publik terhadap isu perbedaan masih tinggi, yakni 31.2 persen. Ini menunjukkan kasus kekerasan primordial masih rawan,” ungkap Sopa.

Yang mencengangkan, lanjut Sopa, sebanyak 15 sampai  80 persen publik Indonesia merasa tidak nyaman jika hidup berdampingan atau bertetangga dengan orang yang berbeda identitas. Ada tiga jenis tetangga, yaitu Syiah, Ahmadiyah, dan homoseks yang mendapat prosentase penolakan yang tinggi. Sebesar 41,8 persen publik merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Syiah, 46,6 persen tidak nyaman bertetangga dengan orang Ahmadiyah dan 80,6 persen tidak nyaman berdampingan dengan orang yang memiliki hubungan sesama jenis (homoseks).

”Intoleransi terhadap keberadaan orang lain yang berbeda identitas meningkat dibanding survei yang sama yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tahun 2005. Pada 2005, LSI juga memotret perilaku keberagamaan dan diskriminasi dengan variable dan indikator yang sama,” katanya.

Saat itu, publik yang tidak nyaman terhadap tetangga yang berbeda identitas hanya 8-65 persen. Temuan survei tahun 2005 menunjukan mereka yang tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang berbeda agama naik 8.2 persen, dari 6.9 persen menjadi 15.1 persen pada survei tahun 2012.

Bahkan, lanjut Sopa, pilihan penggunaan kekerasaan sebagai cara menegakan prinsip terhadap mereka yang berbeda identitas atau agama tertentu meningkat. Lebih dari 20.0 persen publik setuju dan membenarkan penggunaan kekerasaan dalam menegakan prinsip agama. Angka ini meningkat dari tahun 2005 yang hanya di bawah 10.0 persen .

”Itulah temuan survei LSI Oktober 2012 ini. Sikap intoleransi terhadap keberadaan orang lain yang berbeda identitas sosialnya semakin meningkat. Dan, toleransi publik terhadap penggunaan kekerasan ikut meningkat,” pungkas Sopa. (yay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tolak RUU Kamnas, HMI Siap Turun ke Jalan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler