jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman mengatakan, pelarangan ekspor mineral, nikel, tembaga, bauksit dan batubara sebenarnya sudah dimulai sejak 14 Januari 2014 lalu.
Namun, pemerintah ketika itu melunak karena banyak perusahaan tambang merugi dan mengancam merumahkan karyawan. Selain itu ada ketakutan dari pemerintah, defisit neraca perdagangan meningkat.
BACA JUGA: Irwan Fecho: Wantimpres Harus Berani, Jangan Asal Presiden Jokowi Senang
"Padahal, itu hanya ancaman jangka pendek saja, jika sejak 2014 pemerintah konsisten menerapkan kebijakan pembangunan smelter, penerimaan negara pasti akan meningkat drastis dan industri nikel mengalami perbaikan berarti," ujar Ferdy di Jakarta, Sabtu (14/12).
Ferdy mengemukakan pandangannya menyikapi langkah tegas pemerintah yang kembali melarang ekspor nikel. Akibatnya, negara-negara yan tergabung dalam Uni Eropa menggugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO).
BACA JUGA: Presiden Jokowi Akan Memastikan Sendiri Titik Istana Kaltim
Menurut Ferdy, sampai sekarang baru 30 persen perusahaan yang sudah membangun smelter. Jumlah fasilitas smelter yang sedang dibangun baru sebanyak 71 smelter; 35 pabrik nikel, 6 pabrik bauksit, 8 pabrik besi, 3 pabrik mangan, 11 pabrik zircon, 4 pabrik seng dan 4 pabrik zeolite.
"Outlook Report Wood Mackenzie edisi 21 Desember 2016 menyebutkan bahwa dari sudut pandang kapasitas produksi smelter, posisi Indonesia akan meningkat dari peringkat 4 di dunia pada 2015 menjadi peringkat 3 pada 2016 jika melihat laju pembangunan smelter seperti saat ini, Indonesia diperkirakan mencapai tingkat pertama di dunia pada 2019," ucapnya.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Ada Habib dan Wiranto di Jajaran Wantimpres Jokowi Hingga Kemenangan Ginting
Karena itu, kata Ferdy kemudian, Presiden Jokowi tak boleh melunak lagi dengan cara membuka kembali keran ekspor (relaksasi mineral) hanya karena ada tekanan dari Uni Eropa. Menurutnya, Indonesia memiliki pengalaman buruk dengan industri nikel, lingkungan dirusak dan deforestasi tak terhindar.
Ferdy kemudian mengingatkan pesan yang disampaikan presiden saat meresmikan sebuah pabrik smelter di Morowali, Sulawesi Tengah, pada akhir Mei 2015 lalu.
"Kala itu presiden mengatakan, 'jangan ada lagi bahan mentah yang langsung dikirim ke luar negeri. Harus ada nilai tambah untuk daerah dan untuk lingkungan daerah.," kata Ferdy.
Menurutnya, presiden ketika itu membandingkan keuntungan yang didapat dari pengiriman bahan setengah jadi yang hanya AS$ 30 per metrik ton dibandingkan produk setengah jadi yang harganya menjadi AS$ 1.300 per metrik ton.
Alasan lain, Ferdy juga menyebut Indonesia selama ini dikenal sebagai negeri pengekspor terbesar di dunia untuk sektor mineral. Pada 2012 misalnya, ekspor nikel dari pemegang izin usaha pertambangan (IUP) sebesar 41 juta ton. Naik hampir 2000 persen dibanding 2009 yang hanya mencapai 91.000 ton. Ferdy menilai kondisi yang ada harus benar-benar dikontrol ketat.
“Sepanjang 2013 ke 2014 saya menyaksikan sendiri berton-ton bijih mentah diangkut tanpa pengawasan ke belasan kapal berbendera asing yang bertaburan tidak jauh dari pelabuhan yang saat itu bertebaran di berbagai titik di Sulawesi bagian tengah dan tenggara. Saya melihat sendiri kalau pengiriman 'tanah' tersebut dilakukan siang-malam tanpa henti, dan sama sekali tidak memperhatikan good mining practices," pungkas Ferdy.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terminal Omni
Redaktur & Reporter : Ken Girsang