jpnn.com, JAKARTA - Inilah sederetan petinggi negara kita yang berurusan dengan instansi penegak hukum (KPK) dan dijebloskan dalam penjara: (oknum) ketua Mahkamah Konstitusi, (oknum) ketua Dewan Perwakilan Rakyat, (oknum) ketua Dewan Perwakilan Daerah, (oknum) Sekretaris Mahkamah Agung, ketua umum partai politik, sejumlah menteri dalam kabinet Jokowi jilid kedua, beberapa kepala daerah/gubernur, terakhir (oknum) wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
Satu per satu perilaku fraud (penipuan/kecurangan/korupsi) mereka yang sangat memalukan terbongkar, bahkan ditelanjangi selama persidangan di Pengadilan Tipikor.
BACA JUGA: Jerat Azis Syamsuddin, Firli Bahuri Diacungi Jempol
Mereka semua diberikan ‘kehormatan’ untuk memakai jaket berwarna oranye, jaket khas KPK.
Jangan lupa, mereka adalah sosok-sosok yang berkedudukan tinggi, termasuk pemimpin Republik Indonesia.
BACA JUGA: Analisis Prof Tjipta Lesmana soal Kekacauan Komunikasi Istana
Pertanyaan sentralnya: Bagaimana sesungguhnya kualitas pemimpin Indonesia saat ini?
Pertanyaan yang lebih serius lagi: Mau ke mana negara kita tercinta ini?
BACA JUGA: Tjipta Lesmana Optimistis Kementan Mampu Kelola Produksi Pangan
Soal leadership Indonesia, sejumlah sosok hebat kita pada Kamis 16 September yang baru lalu, berkumpul di forum diskusi virtual dengan tema “Menyongsong 2045: Perlu Kepemimpinan yang Berkelanjutan”.
Masalah kepemimpinan (leadership) menjadi fokus utama diskusi yang digelar oleh Indonesian Anti-Fraud Center (IAFC), di samping juga soal demokrasi.
Bagaimana kira-kira wajah Republik Indonesia setelah berusia 100 tahun merdeka nanti pada tahun 2045?
Jika Amerika punya American Dream dan masih terus mengejar impian tersebut, apakah Indonesia juga punya Indonesian Dream, atau masih gelap perspektif Indonesian Dream itu?
Dalam bentuk wacana, sudah sejak lima tahun yang lalu banyak politisi dan ahli-ahli ekonomi kita ngoceh seputar impian Indonesia ini.
Namun, dalam diskusi akbar yang dihadiri oleh banyak ‘pensiunan pendekar’ itu, saya melemparkan satu pertanyaan yang cukup mengejutkan hadirin, “Apa Indonesian Dream bisa diwujudkan jika situasi poleksos (politik, ekonomi, sosialm red) tetap seperti sekarang?”
Lalu, J. Sudrajat, mantan Dubes kita di RRT, menyoroti pentingnya aspek kepemimpinan. Dengan suara lantang, Sudrajat mengatakan,“Pokoknya harus ada reformasi tentang leadership di negara kita.”
Saya jawab, “Setuju. Omong kosong dan hanya mimpi buruk terwujudnya Indonesian Dream jika kualitas pemimpin kita tetap seperti sekarang.”
Kepemimpinan kita saat ini seperti apa? Ya itu, orang-orang yang suka rampok APBN, APBD, anggaran e-KTP, dana bansos, mark-up anggaran pembangunan, yang mencoba menyuap penyidik KPK, yang trade-off (tukar menukar) antara jabatan dan duit, yang berusaha menyelamatkan kawannya dari jeratan hukum dengan imbalan miliaran rupiah dan sederatan tindakan kriminal lain yang sangat memalukan.
Perhatikan secara saksama delapan ciri kepemimpinan yang baik menurut Aristoteles, salah seorang filsuf kondang.
Integritas adalah modal utama seorang pemimpin.
Sayang, makin banyak pemimpin kita yang paling suka berbohong (deception) dan melakukan fraud (tipu muslihat).
Dalam situasi yang sudah kepepet pun ketika hendak ditangkap KPK, dia masih berbohong bahwa dirinya kena Covid-19 dan perlu isoman.
Terpidana skandal e-KTP berani-beraninya membuat skenario mobilnya tertabrak pohon agar bisa masuk rumah sakit dan terhindar dari panggilan KPK.
“There is so much deception today that many people just assume they are not being told the truth,” tulis Aristoteles.
Kualitas atau karakteristik penting lain dari pemimpin, menurut Aristoteles, adalah kesiapan menjadi pengikut.
Anda tidak akan jadi pemimpin yang efektif jika tidak pernah jadi pengikut (followers) yang setia.
Pemimpin kita, umumnya seperti Julius Ceasar yang berkoar, “My word is my law.”
Lebih suka memerintah atau bertahta daripada mendengar dan menjalankan aspirasi rakyatnya.
Aristoteles juga menegaskan excellence atau keunggulan/mutu prima harus menjadi kebiasaan pemimpin; selalu mengejar yang unggul, dan karya yang hebat.
Pemimpin kita kebalikannya, selalu mau dilayani dan dimanja.
Pemimpin juga harus selalu siap dikritik, bahkan dikecam.
Jika takut dikritik, say nothing, do nothing, be nothing, kurung diri saja di rumah, tidak usah berbuat apa-apa.
Menurut Aristoteles, pemimpin harus mengakui ketidakmampuannya melayani dan membahagiakan setiap orang.
Jika tidak ada yang kritik pemimpin, itu berarti sang pemimpin belum berbuat sesuatu yang penting bagi rakyatnya.
Minimal kiprah anda belum kelihatan sama sekali.
Karakteristik lain dari pemimpin, jangan lari dari masalah.
Orang yang tidak berani menghadapi masalah atau tantangan adalah pengecut, dan tidak pantas jadi pemmpin, tulis Aristoteles.
Ciri lain dari pemimpin versi Aristoteles ialah jangan cari kekayaan.
Tidak ada pemimpin yang berhasil disayangi rakyatnya jika otaknya selalu dipenuhi pikiran bagaimana memperkaya diri sendiri atau keluarganya.
Oleh sebab itu, Aristoteles paling keras menentang pengusaha jadi penguasa, atau penguasa yang kemudian tergiur jadi pengusaha.
Pengusaha jadi penguasa, menurut Aristoteles, cenderung korup, sebab tabrakan kepentingan sulit dielakkan.
Pesan penting Aristoteles yang lain, “Jika anda tidak berani melawan perilaku buruk (terutama memperkaya diri dan merampok uang rakyat), anda mustahil jadi pemmpin yang baik.”
Terkait sosok Azis Syamsudin, menurut penelusuran CNN News, dia diduga kuat keserempet minimal lima kasus (dugaan) korupsi.
Pada tahun 2012 namanya disebut-sebut dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Kawasan Pusat Kegiatan Pengembangan dan Pembinaan Terpadu Sumber Daya Manusia Kejaksaan, Kelurahan Ceger, Jakarta Timur.
Azis kembali disebut terlibat dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM tahun 2013.
Ketua Panitia Pengadaan Proyek Simulator Ujian Surat Izin Mengemudi (SIM) Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan mengaku pernah diperintah atasannya, Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, untuk memberikan sejumlah dana kepada seorang anggota Banggar DPR.
Azis sempat diperiksa KPK untuk menggali keterlibatannya dalam kasus tersebut.
Pada 2017, dia dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas dugaan suap dalam pengesahan dana alokasi khusus (DAK) Lampung Tengah.
Mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa menyebut Azis Syamsuddin meminta fee delapan persen dari DAK 2017 Lampung Tengah yang berhasil disahkan.
Saat itu, Azis menjabat sebagai Ketua Badan Anggaran DPR.
Dalam kasus Djoko Tjandra, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte mengaku sempat berbicara melalui telepon dengan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin soal red notice Djoko Tjandra.
Dia mengaku meminta arahan Azis untuk menerima atau menolak permintaan Tommy Sumardi mengecek status red notice Djoko Tjandra.
Terakhir, KPK memeriksa Azis Syamsuddin terkait kasus suap Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial dan penyidik KPK Steppanus Robin Pattuju.
Wali Kota Tanjungbalai diduga memberi uang sebesar Rp 1,5 miliar agar penyidik KPK membantu penghentian penyelidikan kasus korupsi di Tanjungbalai.
Dalam konferensi pers, Ketua KPK Firli Bahuri secara terang-terangan menyebut Azis Syamsuddin memfasilitasi pertemuan antara penyidik KPK dengan wali kota Tanjungbalai di rumah dinas wakil ketua DPR pada Oktober 2020 silam.
KPK bahkan melakukan penggeledahan di ruang kerja Wakil Ketua DPR Azis di gedung Nusantara III, lantai 4, DPR RI.
Penggeledahan dan penyitaan dokumen juga dilakukan di rumah dinas dan rumah pribadi Azis Syamsuddin.
Azis akhirnya ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus dugaan suap dana alokasi khusus di Lampung Tengah, Lampung, setelah terjadi ‘negosiasi’ yang cukup alot pada Jumat 24 September malam di KPK, tampaknya untuk menyelamatkan Azis.
Hari Sabtu dini hari, pimpinan KPK baru secara resmi mengumumkan penetapan Azis Syamsudin sebagai tersangka.
Jaket berwarna oranye pun dikenakan kepada wakil ketua DPR itu.
Boyamin Saiman, Koordinator MAKI, sempat berteriak-teriak tatkala terjadi ‘negosiasi’ yang menegangkan di dalam gedung KPK.
Pertanyaan akbar: Kenapa orang-orang yang berkarakter buruk bisa jadi pejabat penting (bahkan menteri), petinggi lembaga tinggi negara, bahkan jadi ketua Mahkamah Konstitusi, ‘dewa konstitusi’ kita?
Salah satu jawaban yang jitu atas pertanyaan ini, “Karena sistem demokrasi kita yang brengsek!! Ada cacat besar sistem demokrasi kita pascareformasi.
Setelah amendemen UUD 1945, presiden, wakil presiden, wakil-wakil rakyat, kepala-kepala daerah hingga kepala desa, semua dipilih rakyat secara langsung.
Secara teoritis, rakyat jadi berdaulat. Namun de facto, pemahaman rakyat kita tentang politik, sebagian besar masih rendah. Civil democracy tidak bisa berjalan efektif.
Mantan Perdana Menteri India, (Almarhumah) Ny. Indira Gandhi pernah berkata demokrasi sulit berkembang di negara yang pendidikan rakyatnya rendah dan kemiskinan merajalela.
Dalam situasi seperti itu, rakyat mudah disuap politisi untuk mengikuti kehedak politisi.
Maka, pemilihan umum berlangsung dengan taktik money politics.
Sebagian rakyat dengan senang hati mencoblos tanda gambar setelah diberikan uang.
Alhasil, para pemimpin dan wakil rakyat, sebagian, dipilih berdasarkan setumpuk uang yang ditebarkan calon pemimpin kepada rakyat yang butuh uang.
Dari mana politisi memiliki uang dalam jumlah besar untuk memenangkan pertarungan di kotak suara? Pinjam atau minta dana dari pengusaha, khususnya pengusaha besar jika uang yang dibutuhkan berjumlah besar.
Nah, setelah memenangkan pemilihan, politisi harus bayar utang.
Dengan kursi empuk yang sudah didudukinya, pemimpin memberikan proyek-poyek pembangunan, atau kursi menteri, fasilitas lain kepada ‘bandar pemilu’.
Lingkaran setan korupsi bermula dari sana.
Makin lama, lingkaran korupsi itu makin luas dan makin masif.
Jadilah Indonesia salah satu negara paling korup di dunia!
Indeks korupsi Indonesia, menurut Transparancy International, makin lama makin merosot.
Indeks korupsi Indonesia pada tahun 2019 tercatat 40, setahun kemudian indeks tersebut anjlok jadi 37.
Indonesia masuk dalam kategori salah satu negara paling korup di dunia.
Kepemimpinan yang buruk, tindak pidana korupsi yang makin menggila dan penegakan hukum yang makin anjlok, itulah tiga faktor kunci sulitnya kita mewujudkan Indonesian Dream, 100 tahun setelah kemerdekaan (tahun 2045).
Cita-cita para pendiri bangsa untuk menciptakan Negara Indonesia yang adil dan makmur, serta Indonesia yang makin kuat dan dihormati dunia internasional, akan makin jauh dari perwujudan nyata! (**)
Prof. Tjipta Lesmana adalah Pengamat Poltik Senior, Analisis Indonesian Anti-Fraud Center (IAFC)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ternyata Ini yang Didalami KPK dari Prasetyo Edi Terkait Kasus Korupsi Tanah di Munjul
Redaktur & Reporter : Boy