JAKARTA - Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan peluang unsur partai politik masuk di penyelenggara pemilu, nampaknya masih memunculkan rasa kecewa di kalangan DPR RI. Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso menilai, nampaknya perlu juga dilakukan revisi atas keterwakilan parpol di unsur penegak hukum seperti hakim konstitusi dan hakim agung.
"Kita hormati putusan MK. DPR juga punya ilham baru, untuk hakim MK dan hakim agung, kemungkinan unsur yang berbau parpol akan coba kita revisi," kata Priyo usai sidang paripurna DPR di gedung parlemen, Jakarta, Senin (9/1).
Priyo berpandangan, jika penyelenggara pemilu bebas dari parpol, nampaknya di unsur hakim juga harus bebas dari parpol. Ini tentu senapas dengan putusan MK terkait UU 15/2011 tentang Penyelengara Pemilu.
"Supaya kalau betul-betul tujuannya independen. Kalau DPR membuat itu jangan dibatalkan lo ya," kata
Priyo dengan ekspresi kecewa.
Meski dibatalkan MK, Priyo menilai pesan yang disampaikan oleh DPR sebenarnya jelas. Penyelenggara parpol adalah orang-orang yang mandiri, independen, dan tidak tergoda untuk melompat ke parpol atau jabatan politik manapun.
Namun, hal itu nampaknya dipersepsi berbeda oleh para hakim konstitusi. "Kadang-kadang logika DPR untuk mengangkat demokrasi, itu tak nyambung dengan pikiran-pikiran hakim MK," ujar Priyo.
Para hakim MK, kata Priyo, sepertinya hanya menilai dari segi kertas. "Ke depan hakim MK supaya mau belajar mengetahui latar belakang itu semua. Filosofinya," jelas Ketua DPP Partai Golongan Karya itu.
Namun, lanjut Priyo, apa boleh buat, DPR tentu harus menghormati putusan MK tersebut. Meskipun dirasa mengganjal, tentu hal itu tidak ada gunanya. "Kami harus patuh, oleh karena itu silahkan diproses, kita akan cari orang terbaik," tandasnya.
Mantan Ketua MK Jimly Asshidiqie ternyata sedikit banyak juga sependapat dengan pandangan Priyo. Menurut Jimly, memang perlu dilakukan revisi atas keterwakilan unsur parpol di hakim konstitusi dan hakim agung. Namun, keterwakilan itu tidak sepenuhnya menghapus keberadaan hakim dari parpol.
"Intinya perlu ada standarisasi pejabat publik. Di BPK saja (syaratnya) dua tahun (tidak aktif di parpol)," ujar Jimly secara terpisah.
Di aturan UU MK saat ini, tidak disebutkan kapan seorang calon hakim dari parpol harus mundur. Seharusnya, MK terbebas dari unsur parpol. Caranya, calon hakim konstitusi harus mundur dulu dari parpol tempat dia bernaung. "Harusnya bebas dari parpol dari sekian tahun," ujarnya.
Aturan semacam itu, kata Jimly, dinilai penting. Ini karena, setiap keputusan MK harus terbebas dari kepentingan apapun.
"Putusan MK harus jadi standar, harus disesuaikan karena MK negarawan. Jadi (unsur parpol) perlu jarak psikologis," tandasnya. (bay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bergulir Wacana Pansus Konflik Agraria
Redaktur : Tim Redaksi