Prof. Azyumardi: Perlu Gerakan Literasi Keagamaan untuk Mengukuhkan Nilai Budaya Indonesia

Sabtu, 26 Juni 2021 – 14:30 WIB
Para pembicara Sarasehan Satupena bertajuk "Kemerdekaan Literasi" pada Jumat (26/6/2020). Foto: Flyer Satupena

jpnn.com, JAKARTA - Perlu gerakan literasi yang mampu mengukuhkan kembali nilai-nilai budaya Indonesia yang mulai tergerus bahkan mendapat tantangan besar dari sebagian kalangan yang ingin memaksakan kehendak melalui paham keagamaan sempit.

Akibatnya pluralisme yang hidup damai di bumi Indonesia, juga mengalami gangguan serius.

BACA JUGA: Gawat, Kemampuan Literasi Sarjana Indonesia di Bawah Lulusan SMP di Denmark

Demikian salah satu masalah yang mengemuka dalam sarasehan yang digelar perhimpunan penulis Satupena bertema “Kemerdekaan Literasi” pada  Jumat (26/6) petang.

Acara yang dilaksanakan melalui daring ini menghadirkan empat narasumber yaitu Prof. Azyumardi Azra, Prof. Albertine Minderop, Dr. Nasir Tamara, dan Krisnina  Akbar Tandjung MA. 

BACA JUGA: Pertamina Dukung Program #MajuBarengTikTok untuk Literasi Digital UMKM

Sarasehan yang dipandu oleh Suradi, M.Si ini akan digelar beberapa kali dengan mengambil tema beragam dan narasumber berbeda. Kegiatan ini digelar dalam rangka menyongsong Kongres kedua Satupena pada Agustus mendatang.

Intelektual Muslim Azyumardi Azra mengungkapkan, diperlukan apa yang disebut 'religious literacy' atau literasi keagamaan.

BACA JUGA: Panglima Kembali Mutasi dan Promosi Jabatan 104 Perwira Tinggi TNI, TNI AD Catat Rekor

Sebab, menurut Azyumardi, masih banyak yang ingin memaksakan kehendaknya. Penyebabnya dari kalangan masyarakat sendiri. Kedua, kalangan organisasi dan lembaga keagamaan arus utama dan terakhir dari pemerintah yang sering menjadi ‘Polisi Tuhan’ atau mengontrol pemikiran keagamaan masyarakat.

“Ini juga jadi masalah. Tugas kita sangat berat,” kata dia.

Azyumardi juga menyoroti kemerdekaan literasi, dalam konteks menyangkut kebebasan sosial dan intelektual.

Menurut dia, dengan kebebasan sosial dan intelektual itu, warga secara individual maupun kelompok masyarakat dapat membangun kehidupan lebih baik.

Dia menilai saat ini, kebebasan intelektual terbatas karena ada buzzer. Ada yang melakukan tindakan dengan mengganggu jika kita melakukan diskusi atau webinar tentang isu-isu yang sensitif, politik dan macam-macam yang secara politik dianggap sensitif oleh pemerintah.

Oleh karena itu, dia menilai demokrasi di Indonesia menurun karena kebebasan itu terhambat.

“Banyak dosen yang takut untuk berbicara dan menulis hal yang sensitif. Jadi, literasi intelektual merosot,” papar mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu.

Dosen Universitas Darma Persada dan Kajian Wilayah Amerika UI, Prof Albertine Minderop menanggapi soal literasi keagamaan yang dikemukakan Azyumardi.

Dia mengaku sangat mengkhawatirkan perkembangan terkait praktik keagamaan yang cenderung berpikir sempit dan menganggap kelompoknya benar, sementara yang lain salah.

Albertine tertarik dengan literasi yang terkait dengan literasi keagamaan. Bagaimana literasi itu dapat mengukuhkan nilai-nilai budaya dan keagamaan.

Belakangan ini, kata dia, situasinya mengkhawatirkan. Nilai-nilai budaya kita yang dijunjung tinggi seperti Pancasila dan NKRI, mulai digoyang-goyang.

“Kita harus berpikir dan melakukan langkah, bagaimana kita tampil dengan budaya Indonesia. Bagaimana kita menggalang kekuatan apa yang kita punya sejak kemerdekaan, kepribadian Indonesia. Jangan terkungkung ajaran-ajaran agama yang bersifat theological ignorance, karena tidak berani keluar dari situ,” kata dia.

Padahal, menurut dia, literasi itu bebas, apalagi sekarang merdeka belajar, memberi kebebasan. Bebas melihat banyak hal. Skeptis perlu dan jangan cepat mengambil suatu pegangan yang sebenarnya tidak mendukung apa yang dicita-citakan pendiri bangsa ini.

“Jadi, semua harus bersatu, mengembalikan cita-cita perjuangan bangsa ini. Kita boleh belajar budaya bangsa mana pun, asal watak bangsa tetap dipegang. Jangan karena pemikiran sempit, kita terpecah belah,” ujar Albertine.

Pemerintah Harus Bantu Profesi Penulis

Ketua Umum Satupena Nasir Tamara dalam sarasehan ini mengungkapkan bagaimana sejarah kelahiran Satupena, untuk memperjuangkan nasib penulis, baik dalam kaitan pajak, royalti, dan juga akses penulis ke berbagai sumber penulisan.

“Pemerintah harus membantu profesi penulis, sebab karya penulis menunjukkan peradaban suatu bangsa,” kata Nasir Tamara.

Oleh karena itu, menurut dia, Satupena ingin membuat suatu ekosistem yang memberi ruang lebih besar bagi penulis dan meningkatkan harkat serta kesejahteraan penulis.

Nasir yang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sorbonne, Prancis ini menyatakan bahwa organisasi penulis itu sangat penting, seperti upaya yang dilakukan penulis terkemuka, Victor Hugo yang membentuk organisasi penulis pada 1835 dan sampai sekarang organisasi itu masih berperan untuk memperjuangkan nasib para penulis di Eropa.

Menurut Nasir, para penulis Indonesia punya kesempatan untuk maju dan sejahtera dalam ekonomi seperti para penulis Amerika Serikat dan Eropa, karena karya mereka dibaca jutaan orang, dibuat film, dan sebagainya.

“Jadi, potensinya cukup besar. Oleh karena itu, kita harus bersatu menghadapi berbagai kendala profesi penulis di tanah air,” kata Nasir.

Ketua Yayasan Warna-warni, Krisnina Akbar Tandjung yang akrab disapa Nina Akbar mengungkapkan menjadi penulis adalah pengabdian dan memang tidak bisa berharap banyak dari sisi ekonomi, khususnya dari royalti dan penjualan buku.

“Yang penting, bagaimana menjadikan buku sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat. Kalau sudah begitu, kebiasaan membaca otomatis terbangun dan kecerdasan masyarakat meningkat,” kata Nina.

Penulis sejumlah buku di antaranya “Jejak Gula” dan House of Solo” ini sudah sejak lama bergerak dalam dunia literasi dengan menginisiasi berbagai kegiatan seperti yang dilakukan di  “Rumah Budaya Kratonan” miliknya yang mempunyai program mencintai sejarah melalui bangunan kuno.

Rumah tradisional Jawa yang terletak di Jalan Manduro Nomor 6, Kartotiyasan, Kratonan, Serengan, Solo itu sudah menghasilkan ratusan alumni yang mengikuti kegiatan literasi dalam bentuk penulisan karya sesuai pengamatan para pelajar atas berbagai unsur sejarah dan budaya.

Sebagai anggota Satupena, Nina Akbar mengakui organisasi ini sangat bermanfaat bagi para penulis, baik sebagai forum silaturahmi maupun upaya memperjuangkan nasib para penulis.

“Oleh karena itu, saya berkeinginan agar setiap minggu ada diskusi buku baru karya anggota Satupena via Webinar. Saya juga usul ada program di radio yang setiap pekan ada diskusi buku baru. Radio mana? Terserah Satupena menjalin kerja sama. Asyik lho mendengar pembahasan buku lewat radio,” ungkap Nina.(fri/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler