Prof Etty: Kontaminasi Paracetamol di Teluk Jakarta Perlu Diteliti Lebih Lanjut

Selasa, 05 Oktober 2021 – 21:34 WIB
Paparan 'Paracetamol: Penyebab Laut Terkontaminasi, Dampak, Pengelolaannya' pada media briefing secara virtual di Jakarta, Selasa (5/10). Foto: KLHK

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Prof Etty Riani mengungkapkan perlu penelitian lebih lanjut terkait temuan kontaminasi paracetamol di Perairan Teluk Jakarta.

Prof Etty juga menyampaikan kadar paracetamol yang ditemukan di Teluk Jakarta ini masih terhitung kecil.

BACA JUGA: Hasto Kritisi Impor Paracetamol, Pangi: PDIP Sudah Pasti Menyinggung Pemerintahan Jokowi

“Kalau dilihat dari jumlah 600 ng/L, itu sifatnya non-akut, sehingga tidak akan menjadi mematikan dalam jumlah tersebut,” kata Prof Etty saat menyampaikan paparan 'Paracetamol: Penyebab Laut Terkontaminasi, Dampak, Pengelolaannya' pada media briefing secara virtual di Jakarta, Selasa (5/10).

Menurutnya, yang perlu diperhatikan lingkungan itu merupakan sistem yang saling terkait, karena itu terkait kejadian ini perlu ada penanganan lebih lanjut agar tidak menimbulkan gangguan.

BACA JUGA: Pencemaran Parasetamol Jadi Masalah di Teluk Jakarta, Begini Kata Peneliti

“Sosialisasi kepada masyarakat juga perlu dilakukan. Jika ingin lingkungan bersih, sehat dan nyaman, maka setiap individu harus peduli lingkungan,” katanya.

Dari hasil Penelitian Pusat Oseanografi LIPI - BRIN, konsentrasi paracetamol di Teluk Jakarta yaitu sebesar 420-610 ng/L.

BACA JUGA: Seberapa Amankah Paracetamol bagi Anak-Anak?

Artinya terdapat kandungan 420-610 gram paracetamol dalam 1 juta meter kubik air laut.

Seorang peneliti pada penelitian 'tingginya konsentrasi paracetamol pada buangan air limbah mendominasi air di Teluk Jakarta, Indonesia', yaitu Prof Zainal Arifin menjelaskan riset paracetamol dan bahan pencemar ini dilakukan sejak 2017 sampai 2020.

Dari lima lokasi penelitian yaitu Angke, Ancol, Tanjung Priuk, Cilincing dan Pantai Eretan, paracetamol terdeteksi di dua lokasi yaitu Ancol dan Angke.

“Dari 4 parameter yaitu parameter fisik hasilnya aman bagi biota, dan parameter logam berat terlarut umumnya aman. Sedangkan nutriens seperti ammonia, nitrate, dan fosfat melebihi baku mutu. Sementara, parameter lainnya seperti pcb dan pestisida juga aman bagi biota laut,” papar Prof Zainal Arifin.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan paracetamol yang menjadi bahan penelitian tersebut merupakan bagian dari berbagai upaya di dunia untuk melakukan penelitian terhadap Contaminants of Emerging Concern (CEC).

CEC adalah bahan kimia sintetis atau alami yang biasanya tidak dipantau di lingkungan, tetapi memiliki potensi untuk memasuki lingkungan dan menyebabkan efek yang sudah diketahui atau diduga memiliki efek terhadap ekologis dan (atau) kesehatan manusia.

Kontaminan baru ini muncul karena belum cukup pengetahuan untuk memastikan efek samping dari bahan kimia, sehingga dapat dipahami risiko yang terkait dengan kesehatan masyarakat dan lingkungan.

“Saat ini belum ada baku mutu air terkait dengan paracetamol dan hal ini termasuk emerging pollutan. Dari paparan para ahli juga jumlahnya relatif kecil, dan kecil kemungkinan untuk mengganggu kesehatan, ” ujarnya.

Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghargai penelitian tersebut.

Hal ini menunjukkan Indonesia sudah memiliki perhatian terhadap isu CEC dan memiliki kemampuan penelitian dengan menggunakan peralatan Advanced Analytical Techniques untuk mendeteksi bahan kimia dengan konsentrasi yang sangat kecil, seperti yang dimiliki Laboratorium Pusat Penelitian Oseanografi.

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Reliantoro mengatakan Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai.

Menurut Sigit, jika dilihat dari segi daya dukung dan daya tampung memang sebagian besar dari Jakarta, juga dipengaruhi oleh daerah di sekitarnya.

“Upaya paling efisien untuk penanganannya yaitu dilakukan sejak dari sumbernya. Jadi masing-masing daerah melakukan identifikasi sumber pencemarnya. Jadi kunci utamanya yaitu kolaborasi untuk perbaikan kualitas air laut di Jakarta khususnya,” kata Sigit.

Untuk menindaklanjuti pengelolaan bahan kimia farmasetika dan contaminants of emerging concern, KLHK dan BRIN akan membentuk Working Group Pengelolaan CEC bekerja sama dengan kementerian teknis terkait dan Perguruan Tinggi.

KLHK juga bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan untuk sosialisasi kepada masyarakat tentang penggunaan obat-obatan baik terutama obat yang tersedia bebas di pasaran. (mrk/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler