Prof Jimly Asshiddiqie: yang Benar Saja, Urusan Nyawa Ini!

Sabtu, 12 September 2020 – 07:36 WIB
Prof Jimly Asshiddiqie. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPD RI Prof Jimly Asshiddiqie menyayangkan polemik terkait kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang akan diterapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Yang disoroti mantan ketua pertama Mahkamah Konstitusi (MK) ini adalah ketidakkompakan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

BACA JUGA: Airlangga Hantam Anies, Prof Jimly Merasa Heran: Ini Berarti Ada Masalah

Pasalnya, kebijakan Anies itu langsung dihantam oleh menteri di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Anies mengatakan alasannya kembali berlakukan PSBB ketat salah satunya karena melonjaknya jumlah kasus Covid-19 di Jakarta. Selain itu, jumlah tempat tidur khusus pasien Covid-19 diperkirakan akan penuh apabila kasus kian melonjak.

BACA JUGA: Tifatul PKS Sindir Arief Poyuono: Wagubnya Teman Situ, Jokowi dan Anies Jangan Diadu

Namun alasan itu dipatahkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Dia menegaskan bahwa tidak ada kapasitas kesehatan yang terbatas karena pemerintah mempunyai dana yang cukup, dan pemerintah akan terus menambah kapasitas bed sesuai kebutuhan.

Airlangga menuding pengumuman PSBB ketat oleh Anies menjadi penyebab rontoknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di atas 5 persen pada hari itu.

BACA JUGA: Dokter Indra: Pemerintah, Tolong Bantu Kami

Persoalan inilah yang disoroti Prof Jimly. Awalnya dia menuliskan kritiknya melalui akunnya di Twitter pada Kamis (10/9).

"Kenapa tidak adakan dulu konsultasi & koordinasi sebelum buat keputusan & pengumuman tentang PSBB dan sebagainya. Pemda & Pempus jangan terus-terusan berbeda dalam penanganan Covid-19. Bikin malu & malah bahayakan keselamatan warga. Inisiatif bisa dari pemda/pempus. Yang penting saling kontak. Jangan main politik terus," tulis @JimlyAs.

Dalam perbincangan dengan jpnn.com, Jumat (11/9), Prof Jimly yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), mengutarakan pendapat dan pandangannya terkait polemik ini.

Bagaimana anda melihat keputusan gubernur DKI soal PSBB ketat, kemudian dihantam oleh Menko Ekonomi. Kesannya ada tarik-menarik kepentingan ekonomi dengan urusan kesehatan? Seharusnya koordinasi dulu mereka.

Itu yang saya heran, kenapa begitu. Kita kan tidak tahu ada koordinasi atau tidak. Tanya saja. Tetapi (gubernur) dengan Menko Perekonomian yang juga ketua pengarah tim nasional kok berbeda pendapat. Itu kan ada masalah artinya. Bagaimana sih. Ini kan sudah terus menerus antara pemerintah pusat dan daerah, ini sudah berkali-kali masak terus begitu.

Seharusnya masalah ini diselesaikan dulu di internal tim pemerintah?

Lha iya. Ini kan pemerintah itu satu. Semestinya ada konsultasi, ngomong dulu, telepon atau apa sehingga tidak perlu terjadi kayak begini. Warga kan harus nurut, lah nurut yang mana? Ikuti yang mana?

Ini bukan soal sekarang, sejak awal sudah kayak begini dan ini terus menerus sampai sekarang. Berbeda terus. Kan susah kalau begitu.

Apa mungkin tersumbat komunikasinya?

Makanya ditanya saja bagaimana.

Kemarin Prof bikin tweet, hentikan dulu berpolitik. Sebaiknya kesampingkan dulu urusan politik di tengah pandemi

Saya tidak tahu masalah politiknya apa. Sudahlah. Dua-dua pihak ini, karena kan enggak bagus juga pemerintah pusat seperti beroposisi ke pemerintah daerah. Yang jadi masalah, tampil, pidato, semua TV, lalu pejabat pusat nyeletuk, waduh dia dapat kredit nih, kira-kira begitu. Si pejabat pusat juga mikirnya politiking.

Tapi ya, pendukungnya... Ini kan antara lovers lawan haters, itu yang jadi masalah. Jadi, lovers dari Anies belum apa-apa sudah ngomong ini gubernur rasa presiden. Kan jadi makin repot.

Otak politisi ini sudah ke (Pilpres) 2024. Kalau dia (Anies) tampil di televisi, waduh, dia bahaya ini, ya kan. Tampil di televisi ngomongnya teratur. Nanti dipuja-puji oleh rakyat. Ini bahaya ini. Maka harus dicegah. Nah, kira-kira itu motif pejabat di pusat itu begitu, kan politik juga berpikirnya.

Sementara yang di daerah itu, tadi saya bilang, kenapa enggak konsultasi sih. Ada tawaduk sedikit. Datangi timnya, minta nasihat. Yang namanya pemerintahan daerah itu bawahan. Pemerintahan daerah itu bawahan dari pemerintahan di atas karena kita ini negara kesatuan.

Jadi, manajemen pemerintahan harus satu terlepas dari kelompok politik di mana anda berasal. Sekali sudah menduduki jabatan di pemerintahan itu satu sistem pemerintahan.

Ya jadi harus tawaduk orang daerah itu kepada pusat. Pejabat pusat itu harus didatangi, Cium tangannya. Begitu lho. Supaya tidak memberi risiko kepada rakyat. Ini urusan keselamatan, yang benar saja. Urusan nyawa ini.

Maka dua-duanya jangan dulu mengambil kredit politik atau sebaliknya. Tidak perlu memikirkan kredit politik yang diambil pihak lain lalu dihalang-halangi jangan sampai pihak lain mendapat kredit.

Politisi itu kan senang kalau lawan politiknya itu menderita. Senang dia. Kalau lawan politiknya itu dapat pahala, dia cemburu, dia enggak suka itu. Itulah ciri berpikir politisi bukan negarawan.

Nah, kedua belah pihak ini sama-sama harus mawas diri, tolong dong perhatikan rakyat dulu. Jangan berpikir politik dulu, begitu lho. Pokoknya pemerintahan itu harus satu.

Dan memang, manajemen pemerintahan sudah salah dari awal. Ini kan keadaan darurat, maka pakailah Pasal 12 UUD. Ini kan enggak ada yang berpikir UUD Pasal 12 (Presiden pernyataan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang).

Semua orang berpikirnya normal. Maka manajemennya normal tetapi dengan kekhususan. Tapi kan keadaannya normal, seperti normal-normal saja. Jadi yang diterapkan sekarang ini keadaan bencana nasional bukan keadaan darurat.

Kalau keadaan darurat maka kedaruratan memberi kesempatan untuk kebijakan yang menyimpang. Itu namanya the law of exception, hukum pengecualian. Tetapi syaratnya manajemennya keadaan darurat. Kalau manajemennya bukan keadaan darurat, manajemen biasa saja tapi dalam keadaan bencana, boleh dia melakukan tindakan khusus namun bukan pengecualian tetapi hukum yang normal berlaku. Begitu lho.

Maka, misalnya semua pejabat, kan ada pegangan UU-nya sendiri. Pemda punya UU enggak boleh dilanggar. Kementerian Kesehatan punya UU tak boleh dilanggar. Menteri agama, menteri sosial, punya UU masing-masing enggak boleh dilanggar.

Nah, akibatnya, manajemen yang menyeluruh, itu enggak jalan. Baik tim yang semula tim Covid, ya, maupun tim yang sekarang sudah diintegrasikan, karena dasarnya Perpres, Inpres. Padahal pejabat-pejabat yang lain punya UU. Itu nanti, koordinasinya tidak jalan, jadi saling marah-marahan.

Itu yang perlu didudukkan?

Iya. Kalau keadaan itu keadaan darurat, dasar konstitusionalnya Pasal 12 (UUD), maka semua ada di tangan presiden. Semua harus tunduk.

Lalu penyimpangan, pengecualian, bisa dilakukan termasuk melanggar konstitusi. Termasuk melanggar HAM, kecuali HAM yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apa pun. Nah, itu manajemen krisis, manajemen keadaan darurat yang kita boleh menerapkan hukum pengecualian.

Dan tidak boleh ada perbedaan antarkepala daerah, antargubernur dengan bupati seperti di Jawa Timur, gubernur dan wali kota beda pendapat. Kemudian di Kalimantan, Sulawesi, ada bupati maki-maki menteri. Enggak bisa begitu. 

Ini keadaan (krisis), harus fokus. Kita harus bersatu menghadapi keadaan krisis. Jadi ini manajemen sudah salah dari awal. Maka masing-masing itu main politik sendiri-sendiri. (fat/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler