jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyebut pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di 17 daerah dalam lanjutan Pilkada serentak 2020 menimbulkan persoalan baru.
Belum seluruhnya dari 17 daerah tersebut telah melaksanakan PSU.
BACA JUGA: Jelang PSU Pilgub Jambi, Sekjen PKS Beri Arahan Demi Kemenangan Haris-Sani
Menurut Yusril, timbul pertanyaan tentang apakah pasangan calon (paslon) pemenang hasil PSU bisa langsung diputuskan oleh KPU setempat atau harus menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) jika ada paslon lain yang keberatan atas hasil PSU?
"Terhadap paslon yang kalah dalam PSU dan menganggap kembali terjadi kecurangan dalam PSU, adakah kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan keadilan dengan kembali membawa perkara tersebut ke MK?" kata Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu (5/5).
BACA JUGA: Irjen Fakhiri Sebut Kelompok Lekagak Telenggen, Egianus Kogoya, dan Serbinus Waker
Dia menilai terdapat ketidakjelasan pengaturan hukum untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dalam Pasal 54 khususnya ayat 4,5,6, dan 7 PKPU Nomor 19 Tahun 2020 masih mengatur hasil PSU dilaporkan ke MK. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi akan memeriksa kembali laporan hasil PSU itu.
MK juga bisa memutuskan untuk mengesahkan hasil PSU. Selain itu, Mahkamah Konstitusi bisa pula memerintahkan untuk melaksanakan PSU kembali, apabila paslon lain mengajukan keberatan atas hasil PSU tersebut.
"Namun, putusan MK dalam perselisihan hasil Pilkada tahun 2020 berbeda dengan dengan putusan PSU sebelumnya," ujar Yusril.
"Kini MK tidak lagi mengeluarkan putusan sela tetapi mengeluarkan putusan akhir," sambungnya.
Adapun bunyi putusan akhir MK terkait permasalahan Pilkada 2020, antara lain memerintahkan KPU melaksanakan PSU di beberapa tempat.
Selanjutnya hasil PSU digabungkan dengan hasil pemungutan suara yang tidak dibatalkan dan diumumkan KPU tanpa harus melapor ke MK terlebih dahulu.
"Ini saya sebut sebagai putusan gaya baru MK yang beda dengan gaya putusan dalam pilkada yang pernah ada sebelumnya," kata Yusril.
Menurutnya timbul pertanyaan lagi, bagaimana jika hasil PSU ditolak oleh paslon lain, misalnya karena kecurangan kembali terjadi. Apakah paslon lain tidak berhak mengajukan permohonan pembatalan hasil PSU ke MK?
Yusri mengingatkan bahwa putusan akhir MK itu bersifat final dan mengikat, serta tidak ada upaya hukum apa pun untuk membatalkannya.
Namun, bunyi putusan akhir MK dalam kasus tersebut yang final dan mengikat itu tidak lain adalah perintah agar KPU melaksanakan PSU.
Menurut Yusril, hasil PSU yang digabungkan dengan perolehan suara yang tidak dibatalkan itu bukan putusan MK yang final dan mengikat.
"Tetapi adalah semata-mata keputusan KPU sebagai penyelenggara pemilu/badan tata usaha negara yang setiap keputusannya dapat diperkarakan di pengadilan," katanya.
Dia mempertanyakan bagaimana sikap MK dengan adanya putusan gaya baru ini?
Apakah MK akan menolak registrasi permohonan perselisihan PSU ini karena tidak ada peraturan yang mengaturnya, atau Mahkamah Konstitusi akan menolak meregistrasi permohonan karena putusan gaya baru PSU itu sudah final dan mengikat?
"Kalau itu terjadi, MK berarti membiarkan PSU dilaksanakan dengan kemungkinan pengulangan kecurangan, sama keadaannya dengan pemungutan suara terdahulu yang justru menjadi dasar bagi MK untuk memerintahkan PSU," kata Yusril. (mcr1/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Dean Pahrevi