Prof Zaki Dukung Program Hilirisasi Mineral

Jumat, 05 Juni 2020 – 18:54 WIB
Proses smelter (Ilustrasi). Foto dok Antaranews

jpnn.com, JAKARTA - Rencana kedatangan 500 tenaga kerja asing (TKA) asal China menjadi polemik di tengah masyarakat karena mencuat saat pandemi Covid-19.

Juru Bicara Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, menyatakan kedatangan 500 TKA tersebut bertujuan untuk mempercepat pembangunan smelter di kawasan Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), Konawe, Sulawesi Tenggara.

BACA JUGA: Mengintip Geliat Ekonomi di Kawasan Industri Nikel Konawe

Saat ini, pengembangan industri hilir berbasis pengolahan dan pemurnian mineral seperti nikel menjadi salah satu sektor signifikan dalam skenario pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi.

Program hilirisasi mineral ini diharapkan bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia.

BACA JUGA: Bamsoet Keluarkan Peringatan Dini soal 500 TKA China ke Konawe

“Sebagai seorang pengajar di Program Studi Teknik Metalurgi ITB, saya merupakan salah satu penggiat program hilirisasi mineral di Indonesia sejak lama bersama pemerintah dan berbagai stakeholders lainnya," ujar Guru Besar Teknik Metalurgi ITB Prof. Zaki Mubarok.

Menurut Prof. Zaki, pada prinsipnya tujuan dari hilirisasi mineral ini adalah bagaimana mengubah keunggulan komparatif Indonesia dengan ketersediaan berbagai sumber daya mineral menjadi keunggulan kompetitif dengan tersedianya bahan baku untuk ketangguhan industri hilir di dalam negeri.

BACA JUGA: Video Keke Bukan Boneka Lenyap dari YouTube, Kekeyi Minta Bantuan Anji

"Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian ini diharapkan bisa membuka lapangan pekerjaan baru, khususnya bagi masyarakat di daerah, pendapatan negara dalam bentuk pajak, dan memberikan multiplier effect (efek berganda) pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan industri tersebut," terangnya.

Pemerintah sudah melarang ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020, sebagai upaya untuk mendorong pengolahan dan pemurnian bijih nikel di dalam negeri.

Sejak 2014 hingga kini sudah lebih dari 12 smelter nikel baru yang memproses bijih nikel laterit menjadi ferronickel dan nickel pig iron di Morowali, Konawe, dan Pulau Obi.

Selain itu juga sudah dibangun dan beroperasi pabrik stainless steel di Morowali sebagai proses lebih lanjut dari ferronickel dan nikel pig iron.  Upaya Indonesia dalam menghentikan ekspor bijih nikel agar bisa diolah dan dimurnikan dulu di dalam negeri sebelum akhirnya diekspor ke luar negeri ini nantinya diproyeksikan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang selama ini dialami Indonesia.

Menurut Prof. Zaki yang sedang menekuni penelitian terkait teknologi pengolahan dan pemurnian bijih nikel laterit berkadar rendah untuk menghasilkan bahan baku baterai kendaraan listrik ini, langkah pemerintah saat ini dengan terus mendorong pembangunan industri pengolahan dan pemurnian sudah tepat dan patut didukung.

Terkait dengan pengolahan bijih nikel kadar rendah, Indonesia dapat memainkan peranan strategis ke depan dengan tumbuhnya industri mobil listrik yang diperkirakan meningkat pesat di dunia dalam 20 tahun ke depan.

Untuk menuju ke sana, masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah dan semua pihak yang terkait. Pada pabrik-pabrik yang sudah berjalan, perlu diperkuat keterlibatan tenaga-tenaga lokal. Namun menurut Prof. Zaki hal ini memang tidak dapat dilakukan dalam sekejap.

Penyiapan SDM harus dilakukan dengan terencana dan terprogram sehingga transfer of knowledge, transfer of skill dan transfer of technology secara gradual dapat dilakukan dengan baik. 

“Jadi saya melihat yang sudah dilakukan dengan membangun politeknik seperti di Morowali itu sesuatu yang positif dan perlu dilakukan hal yang sama di tempat lain dalam penyiapan SDM yang pada saatnya dapat mengelola sumber daya mineral di dalam negeri dengan penuh kemandirian," tandasnya.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy Artada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler