Profesi Advokat Indonesia Kembali Dilecehkan?

Sabtu, 15 Agustus 2020 – 02:50 WIB
Petrus Selestinus. Foto: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Profesi Advokat Indonesia kembali dilecehkan oleh Penyidik Institusi Polri, ketika Advokat Petrus Bala Pattyona dan Barman Sitompul ditolak oleh Penyidik Tipikor Bareskrim Polri, saat hendak mendampingi kliennya Brigjen Pol. Prasetyo Utomo pada pemeriksaan sebagai Saksi, tanggal 13 Agustus 2020, dengan alasan Perkaba No. 03 Tahun 2013.

Meskipun Brigjen Pol. Prasetyo Utomo, diperiksa sebagai Saksi untuk Tersangka Djoko S. Tjandra, namun Ia adalah Tersangka yang ditetapkan oleh Bareskrim Polri dalam kasus Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan Tersangka Djoko S.Tjandra dan Saksi Anita Anggraeni Kolopaking.

BACA JUGA: Publik Menuntut Konsistensi Sikap Polri Dalam Kasus Intoleransi di Solo

"Karena itu, pendampingan oleh seorang Penasihat Hukum tidak boleh diabaikan atas alasan apapun juga," tegas Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesai (TPDI) sekaligus Advokat Peradi, Petrus Selestinus dalam keterangan persnya, Jumat (14/8/2020).

Dalam release Petrus Bala Pattyona, menurut Petrus, dijelaskan bahwa kehadiran Petrus Bala Pattyona dan Barman Sitompul sebagai Penasihat Hukum Brigjen Pol. Prasetyo Utomo, ditolak oleh Penyidik dengan alasan bahwa Saksi dalam kasus dugaan Tipikor tidak diperkenankan untuk didampingi oleh Penasihat Hukum berdasarkan SOP Perkaba.

BACA JUGA: Kejagung Periksa Sejumlah Saksi Dalam Kasus Korupsi Jiwasraya, Nih Namanya

Petrus menilai Perkaba No. 3 Tahun 2013, yang menolak kehadiran Advokat yang telah ditunjuk secara resmi oleh seorang Saksi yang juga Tersangka dalam perkara Tipikor, berimplikasi melecehkan Profesi Advokat selaku Penegak Hukum yang sedang menjalankan Kewajiban Konstitusionalnya dan juga melecehkan Hak Konstitusional Saksi, karena haknya untuk mendapatkan Bantuan Hukum ditiadakan.

Perkaba Jadi Instrumen Insubordinasi

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Penyerangan Brutal di Solo, Novel Langsung Tuding Jokowi, Jimly Bicara

Perkaba No. 03 Tahun 2013, menjadi Instrumen Insubordinasi terhadap UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Ketentuan Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945, menyatakan: "setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara"; dan "dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada "pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang".

Kata-kata pembatasan yang ditetapkan dengan UU, bermakna bahwa pembatasan Hak seorang Saksi dan Kewajiban seorang Advokat harus dengan UU sesuai dengan perintah pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD' 45 dan pasal 73 dan 74 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Oleh karena itu, menurut Petrus, Perkabareskrim No. 03 Tahun 2013 yang menjadi dasar Penyidik menolak Advokat Petrus Bala Pattyona, tidak memiliki dasar hukum apa pun.

Ketentuan pasal 18 ayat (4) dan pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999, Tentang HAM, menyatakan: "setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat  penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap". Sedangkan pasal 73 menyebutkan bahwa Hak dan kebebasan yang diatur dalam UU ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU. Dengan demikian tidak boleh dibatasi dengan Peraturan di bawah UU apalagi dengan Perkaba.

"Apa yang dialami Advokat Petrus Bala Pattyona dan Saksi Brigjen Pol. Prasetyo Utomo, merupakan potret buram dalam Penegakan Hukum, bahkan menjadi tragedi Negara Hukum, karena pimpinan Penegak Hukum tidak taat lagi kepada Konstitusi, tidak taat pada Hirarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan sesuai UU No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, lantas membuat peraturan sendiri untuk melanggar HAM dan Hukum. Ini jelas sebagai bagian dari sikap Insubordinasi dalam hirarki Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," tegas Petrus Selestinus yang juga mantan Komisioner KPKPN itu.

Perkaba Bukan Peraturan Perundang-undangan

Di dalam pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perkaba tidak masuk dalam kategori hirarki Peraturan Perundang-Undangan. Karena itu, tidak masuk di akal sehat publik, jika sekelas Institusi Polri, menganulir kekuatan berlakunya pasal tentang HAM dalam UUD 1945, KUHAP dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang melarang Saksi menggunakan Advokat selama pemeriksaan hanya dengan Perkaba.

"Ini menghina Konstitusionalitas Profesi Advokat sekaligus membelenggu Konstitusional Hak seorang Saksi, meskipun Kabareskrim berwenang membuat Peraturan seperti halnya Perkaba No. 3 Tahun 2013, namun demikian derajad dan konstitusionalitas Perkaba dimaksud hanya mengikat ke dalam Institusi Polri. Karenanya tidak mengikat pihak lain termasuk Advokat, Saksi bahkan Penyidiknya sendiri," tegas Petrus Selestinus.

Pasal 5 dan 7 KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2000 Tentang Polri, menegaskan bahwa seorang Penyidik, mempunyai wewenang antara lain "mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab".

Dalam penjelasannya dimaknai: tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum dstnya; tindakan itu harus patut dan masuk akal dan seterusnya atas pertimbangan yang layak dan seterusnya, dan menghormati Hak Asasi Manusia.

Dengan demikian, menurut Petrus Selestinus, Kabreskrim tidak punya pilihan lain selain mengembalikan Hak Saksi Brigjen Pol. Prasetyo Utomo, untuk tetap didampingi Penasihat Hukum saat diperiksa sebagai Saksi, mengingat seorang Saksi berpotensi menjadi Tersangka, apalagi Saksi Brigjen Pol. Prasetyo Utomo sudah berstatus Tersangka dalam perkara Tipikor yang sama dijadikan Saksi Mahkota. "Tentu saja wajib hukumnya untuk didampingi Penasihat Hukum Petrus Bala Pattyona dkk yang sudah ditunjuk," ujar Petrus Selestinus.(fri/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!

BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah yang Membuat Kelompok Intoleran Menjadi Besar Kepala


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler