jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Papua Center FISIP UI, Profesor Bambang Shergi Laksmono menyoroti tiga level persoalan di Papua. Pertama, soal keseharian, yaitu minimnya kesejahteraan serta pelayanan kesehatan dan pendidikan. Kedua, aspek kelembagaan, yaitu mengenai efektivitas pelaksanaan otonomi khusus, juga peran pemerintah daerah. Aspek ketiga, yaitu internasionalisasi, gerakan politik.
“Tiga ranah yang masing-masing punya kompleksitas tersendiri yang harus menjadi bagian dialog komprehensif antara pemerintah dan masyarakat Papua,” kata Profesor Bambang saat Forum Diskusi Salemba bertajuk “Menakar Masa Depan Papua: Konflik, Resolusi, dan Integrasi Sosial” yang digelar Policy Center ILUNI UI di Kampus UI Salemba, Jakarta, Kamis (2/10).
BACA JUGA: Warga Pegunungan Papua Jangan Sampai Termakan Isu Hoaks di Wamena
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab menekankan persoalan Papua bukan sekadar di Papua saja, namun ini adalah persoalan kebangsaan yang perlu pendekatan dialog yang berkelanjutan. Mengenai penyusunan bentuk, tema, dan pintu dialog yang seperti apa, maka presiden perlu menunjuk semacam utusan khusus yang diterima semua pihak agar dapat legitimasi kuat dan tokoh-tokoh masyarakat Papua tahu harus bicara dengan siapa.
“Dialog ini harus melibatkan kelompok pemuda sebagai aktor strategis baru di Papua,” kata Amiruddin Al Rahab.
BACA JUGA: Sebaiknya Jokowi Temui 2 Orang Tua Ini, Minta Saran soal Konflik Papua
Sementara itu, Tenaga Ahli Desk Papua Bappenas, Moksen Sirfefa memandang akar permasalahan di Papua adalah cara memahami Papua. Akibatnya, salah mengidentifikasi dan memberikan solusi di Papua sehingga kebijakan seperti otsus tidak menjadi desentralisasi yang asimetris karena gagal memahami masalah kelembagaan, kewenangan, dan koordinasi di sana.
“Bagi saya, akar permasalahan di Papua adalah cara memahami Papua," ujarnya.
BACA JUGA: Iluni UI: Pembangunan Infrastruktur Jangan Bebani APBN
Pakar Psikologi Konflik, Dr. Ichsan Malik menjelaskan terdapat beberapa permasalahan laten yang tidak pernah diselesaikan, yaitu soal pelurusan sejarah yang tidak tuntas, perlakuan diskriminatif, akses terhadap sumberdaya yang timpang, serta sekuritisasi. Ini menjadi penghambat rekonsiliasi di Papua.
Untuk itu, dibutuhkan road map baru rekonsiliasi dengan prinsip "kekitaan" untuk duduk bersama meluruskan sejarah, menata kelembagaan, distribusi sumberdaya strategis, menggali kearifan lokal, juga reposisi TNI-Polri di Papua.
"Terdapat beberapa permasalahan laten yang tidak pernah diselesaikan, yaitu soal pelurusan sejarah yang tidak tuntas, perlakuan diskriminatif, akses terhadap sumberdaya yang timpang, serta sekuritisasi. Ini menjadi penghambat rekonsiliasi di Papua. Untuk itu, dibutuhkan road map baru rekonsiliasi dengan prinsip "kekitaan" untuk duduk bersama meluruskan sejarah, menata kelembagaan, distribusi sumberdaya strategis, menggali kearifan lokal, juga reposisi TNI-Polri di Papua," jelasnya.
Ketua Policy Center ILUNI UI, Jibriel Avessina menyatakan selain sebagai wujud keprihatinan dari alumni UI atas berlarutnya permasalahan di Papua, juga secara serius ILUNI ingin memberikan sumbangan pemikiran bagi seluruh stakeholder mengenai penyelesaian kompleksitas permasalahan di Papua dengan mengundang masukan dari berbagai pakar.
“Diskusi ini adalah wujud keprihatinan kami sebagai sebagai alumni UI atas berlarutnya permasalahan di Papua. Untuk itu, ILUNI secara serius ingin memberikan sumbangan bagi seluruh stakeholder mengenai mengenai penyelesaian kompleksitas permasalahan di Papua dengan mengundang masukan dari berbagai pakar, masalah Papua perlu diselesaikan dalam ruang komunikasi konstruktif bingkai keindonesiaan ” kata Jibriel.
Forum diskusi salemba ini adalah bagian dari acara diskusi bulanan yang akan terus digelar oleh Policy Center ILUNI UI dalam membahas berbagai tantangan dan permasalahan terkini di Indonesia.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich