Profesor Joki

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 21 Februari 2023 – 20:08 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Ratusan dosen dan guru besar UGM (Universitas Gadjah Mada) mengeluarkan petisi menolak pemberian gelar guru besar kehormatan kepada kalangan non-akademik termasuk pejabat publik.

Ini merupakan pemberontakan akademik terbuka yang dilakukan oleh kampus terhadap fenomena politisasi gelar akademik yang banyak terjadi akhir-akhir ini.

BACA JUGA: Masih Ditemukan Perjokian, Kemendikbudristek: UTBK SBMPTN 2022 Makin Baik

Profesor adalah jabatan fungsional akademik tertinggi bagi seorang guru besar.

Gelar profesor melekat kepada seseorang selama dia masih menjadi guru besar.

BACA JUGA: Erick Thohir Tegas, Blacklist Semua yang Terlibat Perjokian Rekrutmen BUMN

Ketika dia pensiun dan sudah tidak menjadi guru besar, sebutan itu harus tanggal.

Kalau dia tetap mengajar dan menjalankan fungsi guru besar pascapensiun, dia disebut sebagai profesor emeritus, guru besar kehormatan.

BACA JUGA: Profesor Ini Pernah Menyerahkan Uang Titipan untuk Rektor Unila Karomani, Totalnya

Jabatan tertinggi akademik adalah doktor yang ditempuh melalui jenjang pendidikan S3, dan gelar itu melekat seumur hidup.

Di negara-negara Eropa, Amerika, Australia, serta beberapa lainnya, gelar doktor disebut sebagai PhD atau philosophy doctor, karena penyandang gelar ini menguasai filsafat ilmu.

Di Indonesia marak gelar doktor honoris causa (HC), gelar doktor kehormatan yang diberikan kepada seseorang tanpa harus susah-susah sekolah.

Gelar doktor kehormatan ini diberikan kepada seseorang karena dianggap punya keahlian selevel doktor, atau punya jasa yang besar di bidang keilmuan tertentu. Akan tetapi, praktiknya malah banyak yang jual beli gelar HC, atau gelar kehormatan yang bermotivasi politik.

Sisa-sisa feodalisme yang masih kental di lingkungan kita menjadikan gelar sebagai hal yang penting dan bergengsi.

Seseorang yang merasa berdarah biru, keturunan ningrat akan selalu memasang gelar “R”, Raden, di depan namanya.

Seseorang lainnya yang tidak punya darah ningrat ikut-ikutan menempelkan gelar “R” di depan namanya.

Ketika diprotes dia bilang “R” bukan Raden, tapi Rakyat.

Masyarakat tradisional feodal lebih mementingkan ‘ascription’, sebutan gelar, daripada ‘achievment’, prestasi pencapaian.

Ijazah masih lebih dipentingkan daripada keterampilan.

Orang juga senang bukan kepalang ketika disebut bos, meskipun yang menyebutnya seorang tukang parkir.

Dia akan memberikan tips lebih kepada tukang parkir itu.

Kalau tukang parkir menyebutnya juragan, dia menaikkan tips dua kali lipat.

Gelar-gelar mentereng itu menjadi kebanggaan tanpa ada kontribusi yang nyata bagi kampus maupun bagi publik.

Banyak guru besa yang hanya ongkang-ongkang di menara gading sambil menjadi pemburu Scopus.

Kelompok ini disebut sebagai cendekiawan tradisional sebagai lawan dari cendekiawan organik yang terjun berjuang membela hak-hak masyarakat.

Sebuah investigasi yang dilakukan Harian Kompas membongkar praktik perjokian yang terjadi di berbagai perguruan tinggi.

Tujuan perjokian ini adalah untuk membantu dosen yang ingin memburu jabatan guru besa dengan gelar profesor.

Tentu perjokian ini tidak gratis.

Ada biaya besar yang harus dikeluarkan, termasuk uang untuk membayar joki yang menulis karya ilmiah, dan ada juga uang yang harus dibayar untuk membayar jurnal-jurnal abal-abal di luar negeri.

Uang juga dibutuhkan untuk menyogok makelar-makelar yang mengurus birokrasi yang rumit.

Peter Fleming, akademisi Amerika menerbitkan buku ‘’Dark Academia: How Universities Die’’.

Fleming mengungkap sejumlah fenomena yang menunjukkan bahwa tradisi intelektual kampus sudah mati, dan kampus hanya menjadi puing yang bahkan menara gadingnya pun sudah ambruk.

Di Amerika, kampus-kampus tidak obral gelar kehormatan kepada pejabat negara atau politisi.

Namun, perubahan kampus--yang sekarang menjadi perusahaan komersial--telah membunuh tradisi intelektual kampus yang selama ini dibanggakan.

Fleming menganggap kampus sudah mati dilindas oleh gelombang neoliberalisme yang menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai mesin penghasil uang dari pada penghasil cendekiawan.

Fenomena komersialisasi melanda Amerika, Eropa, dan Australasia.

Di Indonesia, kampus sudah menjadi lembaga komersial yang dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis.

Kampus menjadi mesin pencari uang yang dikelola oleh pejabat yang punya keterampilan bisnis dan keuangan.

Para ilmuwan dan intelektual--yang seharusnya menjadi ujung tombak kampus--berubah menjadi pegawai yang harus patuh kepada manajer komersial.

Undang-Undang Omnibus Law 2020 makin membuat kondisi kampus mengenaskan.

Kampus menjadi objek investasi yang harus bisa menghasilkan profit dengan upayanya sendiri.

Orientasi ekonomi bisnis yang terlalu kuat mengalahkan orientasi intelektualitas yang idealistis.

Berbagai program komersial dan investasi dibuka untuk mengeruk profit.

Bukan hanya modal yang didatangkan dari luar, rektor pun bisa saja diimpor dari luar.

Kaum intelektual kampus diperlakukan sama saja dengan karyawan perusahaan pabrik panci.

Para doktor dan guru besar harus mengisi presensi kehadiran setiap hari.

Ada insentif tambahan untuk kehadiran, dan ada denda berupa pemotongan bagi yang mangkir.

Para pekerja kampus setiap saat sibuk dengan keharusan memenuhi target beban kerja.

Meleset dari target beban kerja berarti tunjangan melayang, atau lebih buruk lagi, jabatan akan ikut melayang.

Yang terjadi kemudian banyak dosen yang menjadi tukang palak intelektual, memalak mahasiswa supaya membuat penelitian ilmiah, lalu sang dosen mendaku (mengeklaim) dengan menempelkan namanya sebagai ‘’first author’’.

Sang dosen masih memaksa para mahasiswa supaya mengutip karya ilmiahnya untuk menaikkan sitasi.

Hal ini juga yang membuat maraknya praktik perjokian di lingkungan kampus sekarang ini.

Protes terhadap komersialisasi kampus yang berlebihan sudah banyak disuarakan.

Eksploitasi dan perbudakan yang berlebihan oleh jurnal internasional terakreditasi sudah sangat sering disuarakan.

Namun, praktik itu tetap berjalan tanpa ada perbaikan.

Dr Sulardi, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) viral di media sosial karena menulis artikel ‘’Aku Malu Menjadi Dosen di Indonesia’’. 

Dia memprotes obral penghargaan guru besar oleh kampus kepada pejabat dan politisi.

Sulardi, seorang intelektual yang sangat berintegritas itu, meninggal dunia 2020, kemungkinan karena jantung dan tekanan psikis.

Sulardi malu kepada kolega dan keluarga karena sering ditanya kapan menjadi profesor.

Sulardi mengatakan sudah menjadi dosen perguruan tinggi selama 30 tahun lebih dan sudah menghasilkan ratusan karya ilmiah.

Tidak ada pekerjaan lain yang dilakukan Sulardi kecuali mengajar, meneliti, dan menulis.

Sulardi termasuk intelektual yang sangat produktif.

Hasil risetnya tayang di berbagai jurnal nasional dan internasional. 

Dia sudah menulis beberapa buku ilmiah dan populer.

Artikelnya bertebaran di berbagai media massa.

Artikelnya berjudul ‘’Profesor Substansial’’ di Harian Kompas merupakan salah satu protes kerasnya terhadap fenomena maraknya pemberian gelar guru besar kepada pejabat dan politisi.

Perjokian guru besar menjadi bukti merosotnya etika akademik.

Kasus-kasus korupsi di perguruan tinggi marak karena merosotnya etika akademik ini.

Jual beli kursi fakultas kedokteran seperti yang terjadi di kampus Universitas Lampung (Unila) menjadi salah satu bukti kemerosotan etika itu.

Kasus korupsi di Unila, sangat mungkin, adalah ujung gunung es yang menyembunyikan fenomena korupsi yang masif di lingkungan perguruan tinggi. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler