Profesor Karomoney

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 22 Agustus 2022 – 17:24 WIB
Dokumentasi-Petugas KPK membawa Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani (tengah) selaku tersangka untuk dihadirkan dalam konferensi pers hasil kegiatan tangkap tangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (21/8/2022). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.

jpnn.com - Seorang guru besar mengaku malu menyandang gelar profesor di Indonesia. 

Prof. Sutawi guru besar Universitas Muhammadiyah Malang menulis artikel yang menjadi viral mengenai borok di sistem perguruan tinggi di Indonesia yang membuatnya malu menyandang gelar tertinggi di kampus.

BACA JUGA: Rektor Karakter

Guru besar adalah jabatan akademis tertinggi seorang dosen di perguruan tinggi. 

Bagi seorang dosen, menjadi profesor adalah gabungan antara ambisi, prestasi, gengsi, sensasi, dan ekonomi. 

BACA JUGA: 8 Fakta Rektor Unila Ditangkap KPK, Modus Meraup Uang Miliaran dari Jalur Mandiri, Parah!

Karena itu. banyak yang berburu gelar—dengan berbagai cara—untuk mendapatkan posisi itu.

Ujung-ujungnya terjadi berbagai pengkhiatan intelektual dalam berbagai bentuk. 

BACA JUGA: KPK Sita Sebuah Catatan Saat OTT Rektor Unila, Apa Isinya?

Salah satu yang terbaru adalah penangkapan Prof. Karomani, rektor universitas Lampung, oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT). 

Uang miliaran rupiah disita bersamaan dengan penangkapan itu.

Peristiwa ini makin membuat malu dan menjadi aib yang mencoreng dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Seorang profesor yang seharusnya menjadi role model dalam dunia pendidikan tinggi dan dunia kecendekiawanan pada umumnya. 

Akan tetapi, ternyata profesi itu tidak kebal terhadap korupsi, malah--dengan jabatan rektor—seorang profesor menjadi rentan terhadap korupsi.

Gelar profesor akhirnya hanya menjadi pajangan sebagai sarana panjat sosial sekaligus sarana untuk panjat ekonomi alias mengumpulkan uang. 

Peter Fleming menulis buku ‘’Dark Academia: How Universities Die’’ (2022), menengarai menjamurnya para akademisi hitam yang menjadi tanda kematian kampus sebagai pusat intelektualitas.

Fleming mengungkap sejumlah fenomena yang menunjukkan bahwa tradisi intelektual kampus sudah mati, dan kampus hanya menjadi puing yang bahkan menara gadingnya pun sudah ambruk. 

Fleming menganggap kampus sudah mati dilindas oleh gelombang neoliberalisme yang menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai mesin penghasil uang dari pada penghasil cendekiawan.

Fenomena komersialisasi melanda Amerika, Eropa, dan Australasia. 

Di Indonesia, kampus sudah menjadi lembaga komersial yang dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis. 

Kampus menjadi mesin pencari uang yang dikelola oleh pejabat yang punya keterampilan bisnis dan keuangan. 

Para ilmuwan dan intelektual–yang seharusnya menjadi ujung tombak kampus–berubah menjadi pegawai yang harus patuh kepada manajer komersial.

Undang-Undang Omnibus Law 2020 makin membuat kondisi kampus mengenaskan. 

Kampus menjadi objek investasi yang harus bisa menghasilkan profit dengan upayanya sendiri. 

Orientasi ekonomi bisnis yang terlalu kuat mengalahkan orientasi intelektualitas yang idealistis. 

Berbagai program komersial dan investasi dibuka untuk mengeruk profit. 

Bukan hanya modal yang didatangkan dari luar, rektor pun bisa saja diimpor dari luar.

Kaum intelektual kampus diperlakukan sama saja dengan karyawan perusahaan pabrik panci.

Para doktor dan guru besar harus mengisi presensi kehadiran setiap hari. 

Ada insentif tambahan untuk kehadiran, dan ada denda berupa pemotongan bagi yang mangkir.

Para pekerja kampus setiap saat sibuk dengan keharusan memenuhi target beban kerja. 

Meleset dari target beban kerja berarti tunjangan melayang. 

Atau, lebih buruk lagi, jabatan akan ikut melayang. 

Yang terjadi kemudian banyak dosen yang menjadi tukang palak intelektual, memalak mahasiswa supaya membuat penelitian ilmiah, lalu sang dosen mendaku dengan menempelkan namanya sebagai ‘’first author’’. 

Sang dosen masih memaksa para mahsiswa supaya mengutip karya ilmiahnya untuk menaikkan sitasi.

Kematian kampus adalah fenomena internasional akibat neoliberalisme politik dan ekonomi. 

Peter Fleming menggambarkan suasana kampus yang kelam di Amerika dan Eropa. 

Tekanan beban kerja yang sangat berat tidak diimbangi dengan remunerasi dan kompensasi yang memadai.

Fleming mencatat beberapa intelektual terkemuka di Amerika yang meninggal dan bunuh diri akibat tekanan kerja yang berlebihan di kampus. 

Kondisi para pengajar itu mengenaskan karena tidak mendapatkan akses layanan kesehatan dan tunjangan hidup yang memadai.

Seorang mahasiswa di Prancis melakukan bunuh diri dan meninggalkan ‘’suicide note’’, catatan bunuh diri yang mengutuk Emanuel Macron, Presiden Prancis, dan menteri serta pejabat yang bertanggung jawab terhadap kondisi kampus. 

Mahasiswa itu tidak kuat membayar biaya kuliah, dan harus hidup dalam kondisi miskin tanpa akses kesehatan yang memadai.

Di Indonesia, belum terdengar ada dosen yang mati bunuh diri karena frustrasi oleh kondisi kampus. 

Akan tetapi, sudah banyak dosen yang meninggal karena tekanan batin yang menyebabkannya mati jantungan. 

Protes terhadap komersialisasi kampus yang berlebihan sudah banyak disuarakan. 

Eksploitasi dan perbudakan yang berlebihan oleh jurnal internasional terakreditasi sudah sangat sering disuarakan. 

Akan tetapi, praktik itu tetap berjalan tanpa ada perbaikan.

Gelar profesor menjadi gelar yang mentereng meskipun hanya sekadar sampiran. 

Masyarakat tradisional feodal lebih mementingkan ‘ascription’, sebutan gelar, daripada ‘achievment’, prestasi pencapaian. 

Ijazah masih lebih dipentingkan daripada keterampilan.

Orang juga senang bukan kepalang ketika disebut bos, meskipun yang menyebutnya seorang tukang parkir. 

Dia akan memberikan tips lebih kepada tukang parkir itu. Kalau tukang parkir menyebutnya juragan ia menaikkan tips dua kali lipat.

Mbah Surono, vulkanolog terkemuka sering disebut sebagai Profesor Gunung Merapi karena keahliannya yang detail mengenai vulkanologi. 

Dia sempat menjadi idola karena selalu muncul di televisi dengan prediksi dan analisisnya yang otoritatif. 

Seorang tukang tambal ban yang ingin sok keren membuat kartu nama dan menyebutkan profesinya sebagai “vulkanolog”, maksudnya tukang vulkanisir ban.

Mbah Lasiyo dari Bantul dijuluki “Profesor Pisang” karena berhasil membudidayakan pisang yang produktif dan menemukan racikan pestisida yang aman untuk pohon pisang. 

Prof Lasiyo berkeliling Eropa memberikan ceramah mengenai pisang. 

Ketika ditanya wartawan Yogjakarta darimana ia dapat gelar profesor, Mbah Lasiyo bilang dari UGM, Universitas Gajah Mungkur.

Arsene Wenger, menjadi pelatih klub sepak bola di Inggris selama 22 tahun sejak 1996 sampai 2018. 

Pada musim kompetisi 2003, Arsenal memenangi kompetisi Inggris tanpa sekalipun kalah dalam 38 pertandingan, menang 26 kali dan seri 12 kali.

Arsenal menjadi satu-satunya tim dalam sejarah Inggris yang menjadi juara tanpa pernah kalah dan mendapat julukan ‘The Invincibles’, yang tak terkalahkan.

Dan untuk kehebatan itu, Wenger dijuluki ‘The Professor’ atau ‘Le Professeur’ karena dia berasal dari Prancis.

Pebalap Valentino Rossi mendapat gelar ‘The Doctor’, tanpa honoris causa atau humoris causa. 

Dia menjadi juara dunia total sembilan kali sejak membalap di kelas 125 cc, 250 cc, masing-masing sekali juara dunia, dan akhirnya lima kali juara dunia di kelas MotoGP 500 cc sampai 2009.

Intelektual Rocky Gerung bukan guru besar, tetapi dia sering disebut profesor karena otoritas kepakarannya di bidang filsafat. 

Dia memilih keluar dari kampus dan mengembara ke tengah-tengah publik sebagai intelektual organik. 

Seorang dosen disebut guru besar karena badannya berukuran jumbo dengan berat di atas satu kwintal.

Rocky Gerung, Mbah Lasiyo, Arsene Wenger adalah para profesor yang mendapatkan gelar dan pengakuan dari masyarakatnya. 

Mereka menjadi bagian dari masyarakat dan berjuang bersama masyarakat.

Berbeda dengan banyak profesor tradisional yang hanya ongkang-ongkang di menara gading sambil menjadi pemburu Scopus, Rocky adalah “Profesor Organik” dalam terminologi Gramsci, atau “Rauzan Fikri”, manusia tercerahkan, dalam istilah Ali Shariati.

Para akademisi, dari dosen sampai guru besar, yang kerjanya cuma mengajar di kampus lalu pulang termasuk kategori “dosen kupu-kupu” alias kuliah-pulang, kuliah pulang. 

Ada juga dosen yang kesibukannya cuma kuliah dan rapat setiap hari. 

Dia masuk kategori “dosen kura-kura”, kuliah-rapat, kuliah rapat.

Dosen kunang-kunang lebih unik lagi. 

Saking sibuknya penelitian, kerjanya setiap hari nangkring di perpustakaan. 

Dia dijuluki dosen kunang-kunang, kuliah-nangkring, kuliah-nangkring. 

Dosen lainnya sibuk berburu KUM, nilai kredit dosen, sampai “kusem” karena kerjanya tiap hari memang kusem, kuliah-seminar.

Dosen komersial adalah “dosen kuda-kuda”, kerjanya kuliah-dagang, kuliah-dagang. 

Apa saja yang dia perdagangkan secara komersial. 

Dia juga suka sogok sana sogok sini untuk mengejar gelar sampai guru besar. 

Orang semacam ini ketika jadi guru besar masuk kategori “profesor diktator” jual diktat untuk beli motor. 

Mereka ini dikutuk keras oleh Julien Benda, dan disebut sebagai ‘la trahison des clrecs’, the treason of the intellectuals, para intelektual pengkhianat. 

Kasus penangkapan Profesor Karomani menambah daftar suram dunia intelektualitas Indonesia. 

Kecaman keras muncul dari berbagai kalangan. 

Profesor Karomani dianggap rakus mengumpulkan uang dengan cara haram. 

Dia pun diplesetkan sebagai ‘’Profesor Karo-Money’’. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler