Profesor San Afri Nilai KHDPK Inovasi Bernas, Begini Penjelasannya

Selasa, 26 Juli 2022 – 22:12 WIB
Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Profesor San Afri Awang. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Konsep Kawasan Hutan Dalam Pengelolaan Khusus (KHDPK) berdasarkan nama memang tidak punya nomenklatur ilmiah, tetapi punya nilai inovasi yang bernas.

Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Profesor San Afri Awang menjelaskan alasannya dirinya menyebut KHDPK sebagai inovasi bernas.

BACA JUGA: Profesor Hariadi: Kebijakan KHDPK Sebagai Strategi Memulihkan Hutan di Jawa

Menurut San Afri, KHDPK akan menyelesaikan beberapa hal. Pertama, penanaman ulang lahan kritis, rusak, gundul, dan tidak produktif akibat pengelolaan sebelumnya.

Kedua, melanjutkan usaha-usaha menyejahterakan masyarakat berbasis pada potensi sumber daya hutan. Ketiga, menyelesaikan konflik tenurial dengan masyarakat.

BACA JUGA: KHDPK untuk Atasi Persoalan Masyarakat di Kawasan Hutan Jawa

Keempat, menyelesaikan masalah permukiman dalam kawasan hutan yang jumlahnya lebih dari 1.000 titik masalah.

Kelima, menyelesaikan kebutuhan tanah untuk pembangunan non-kehutanan dan ketahanan pangan nasional. Keenam, mendukung program strategis nasional.

BACA JUGA: Gegara Babi Hutan, Pemburu Hanyut Terbawa Arus Sungai

“Enam poin ini tidak mungkin diselesaikan oleh Perhutani karena perhutani hanya operator kebijakan saja,” kata Profesor San Afri Awang kepada wartawan, Selasa (26/7/2022) menanggapi perbincangan soal KHDPK atau Kawasan Hutan Dalam Pengelolaan Khusus.

Menurut Prof San Afri, pasti banyak orang mengatakan bagaimana dengan lingkungan hidup di Pulau Jawa? Lingkungan hidup di Pulau Jawa yang sering terganggu adalah bencana iklim, yaitu banjir.

Profesor San Afri menjelaskan banjir itu penyebabnya banyak. Salah satunya adalah adanya lahan kritis seluas 470 ribu ha di dalam kawasan hutan negara.

Menurut dia, lahan kritis ini bukan karena adanya KHDPK. Namun, KHDPK ingin memperbaiki lahan kritis ini.

Oleh karena itu, menurut dia, perdebatan publik yang mengatakan KHDPK penyebab kerusakan lingkungan adalah salah total.

Sebelum ada KHDPK, lingkungan alamnya sudah rusak.

Menurut Prof San Afri, lahirnya KHDPK di Jawa harus dilihat secara holistik ekosistem Pulau Jawa.

Pulau Jawa luasnya sekitar 13 juta ha terdiri dari 3,4 juta ha hutan negara, sekitar 3 juta ha hutan rakyat (tanah milik), dan sisanya adalah penggunaan lain.

Hilangnya angka kecukupan luas hutan minimal 30 persen dari luas daratan/DAS dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 harus dibaca dengan cerdas dan inovatif.

“Khusus Pulau Jawa hilangnya angka 30 persen memang satu keniscayaan sebab banyak masalah yang harus diselesaikan di Pualu Jawa. PP Nomor 23/2021 dan Permen LHK Nomor 9/2021 memastikan bahwa hutan rakyat harus dihitung sebagai bentuk tutupan lahan di Pulau Jawa yang luasnya sekitar 3 juta,” ujar Profesor San Afri.

Dia menjelaskan sistem registrasi akan dikenakan pada hutan rakyat dengan insenttif bagi pemilik hutan rakyat.

Kekhawatiran publik Jawa akan kekurangan tutupan vegetasi terjawab dengan diakomodasirnya hutan rakyat bagian dari tutupan vegetasi di Pulau Jawa.

Dengan hutan rakyat, lanjut Profesor San Afri, maka Pulau Jawa memiliki tutupan vegetasi seluas 6,4 juta ha (45 persen) berasal dari areal perhutani 1,4 juta ha area perhutani, areal hutan rakyat 3 juta ha, areal konservasi 1 juta ha dan areal KHDPK sekitar 1 juta ha.

Hutan rakyat menghasilkan kayu bulat lebih dari 20 juta m3 per tahun, sementara perhutani menghasilkan kayu bulat kurang dari 700 ribu m3 per tahun.

“Mari kita melihat Pulau Jawa dan lingkungan serta ekosistem Pulau Jawa dalam satu kesatuan utuh pulau dan segala isinya. Jangan hanya melihat dari sisi pandang hutan negara saja. Terima kasih pada rakyat yang telah membangun hutan rakyat secara mandiri dan secara bantuan pemerintah,” kata Prof San Afri.

Dengan hutan rakyat dan hutan negara di kalkulasi secara Bersama-sama telah menjadikan daya dukung alam lingkungan di Pulau Jawa membaik.

Kalkulasi jasa ekosistem penyedia air di Pulau Jawa menunjukkan bahwa hutan negara berada pada kelas tinggi sebagai komponen penyedia jasa air, dan hutan rakyat serta kebun campur berada pada kleas sedang sebagai komponen penyedia jasa air di Pulau Jawa.

Tanpa kontribusi hutan rakyat maka Pulau Jawa akan mengalami defisit air lebih banyak.

Manfaat Konsep KHDPK

Silang pendapat para pencinta Pulau Jawa terhadap hutan Jawa pasti berpengaruh pada masyarakat perdesaan di Jawa.

Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehudtanan (LHK) harus segera turun ke tengah masyarakat, bukan di Gedung-gedung, sehingga informasinya tidak terpotong dan tidak dimanfaatkan oleh oknum oknum tidak bertanggung jawab.

“Jika masyarakat mengetahui persis tata kelola dan pemanfaatan kawasan KHDPK maka saya yakin perdebatan ditingkat masyarakat akan segera hilang dan masyarakat akan merasakan manfaat yang banyak dari konsep KHDPK ini,” ujar Profesor San Afri.

Menurut dia, masalah terbesar sebenarnya ada pada Kementerian LHK sendiri, karena saat ini LHK terlihat seperti ragu-ragu.

Keragu-raguan ini terlihat dari tidak jelasnya peta areal KHDPK yang belum disampaikan ke publik.

“Saran saya Kementerian LHK tegak lurus pada peraturan perundangan saja dan segera pastikan peta KHDPK yang ada sebagai lampiran SK 287 tersebut,” ujarnya.

Menurut dia, jika semua sudah pasti maka semua dugaan dugaan yang menyudutkan kemen LHK dapat hilang dengan sendirinya.

Rakyat desa di Jawa sudah melek informasi dan sudah tau mana yang baik dan mana yang lebih baik untuk kehidupan mereka. Bertindak jujur dengan masyarakat maka masyarakat akan percaya pada pemerintah.

Menurut Prof San Afri, masa depan pengelolaan hutan di Pulau Jawa terbukti tidak dapat hanya menyandarkan pada peran hutan negara saja (apalagi hutan negaranya sudah rusak).

Hutan rakyat bagian dari pengisi landscape Pulau Jawa harus dimasukkan dalam pengelolaan landscape hutan di Jawa. Hutan negara dalam model KHDPK.

Salah satunya untuk memperbaiki potensi sumberdaya hutannya yang sekaligus memecahkan masalah sosial ekonomi rakyat yang miskin, kurang beruntung dan hidup di sekitar kawasan hutan negara.

KHDPK harus di bangun dengan paradigma kemanusiaan dalam proses membangun hutannya. Integrasi ekologi, sosial budaya dan kelembagaan, dan ekonomi produktif menjadi bahan utama mengelola dan membangun hutan di wilayah KHDPK.

Konsep membangun hutan rakyat dapat di transformasi ke dalam pengelolaan lahan hutan KHDPK. Konsep Perhutanan sosial sepenuhnya dapat diterapkan dalam KHDPK. Konsep perhutanan sosial adalah implementasi dari integrasi kepentingan ekologi, sosial kelembagaan, dan ekonomi produktif.

Saatnya rakyat diberi kepercayaan mengelola kawasan hutan yang didukung oleh organisasi  yang baik, tata kelola yang baik, dan sistem kelembagaan yang sesuai.

Di USA 60 persen hutannya dikuasai rakyat, di Jepang 70 persen hutannya milik rakyat, di Jerman 60% hutannya dikuasai rakyatnya. Negara maju membuktikan bahwa sustain dtangan kelola kelembagaannya oleh rakyat.

“Perhutanan sosial harus didukung dan dikelola dengan hati dan empati yang dalam dari semua pihak. Jika model integrasi ini berjalan maka besar keyakinan bahwa fungsi hutan KHDPK bersama hutan lainnya dapat menjalankan fungsi regulator dan reservoir alam di pulau Jawa,” ujar Profesor San Afri

Langkah yang Harus Dilakukan

Untuk dapat mewujudkan KHDPK maka Kementerian LHK perlu melakukan beberapa hal. Pertama, Kementerian LHK tetap melaksanakan SK 287 dan segera menyampaikan peta KHDPK kepada publik.

Kedua, mengeluarkan SK Perhutanan Sosial khusus Jawa. Ketiga, sosialisasi KHDPK kepada pemerintah daerah dan publik di daerah-daerah.

Keempat, memudahkan persyaratan untuk mendapatkan izin pemanfaatan hutan. Kelima, mempercepat proses persetujuan perhutanan sosial.

Selanjutnya, keenam, memepercepat penyelesaiaan pemukiman dalam kawasan yang dipandu langsung oleh LHK. Ketujuh, menyelesaikan proses TORA di Pulau Jawa.

Delapan, melakukan pendampingan dan bantuan teknis pada kelompok kelompok masyarakat yang memerlukan.

Kesembilan, mendorong munculnya usaha produktif dala kelompok perhutanan sosial.

Sepuluh, membuat panduan tata kelola perhutanan sosial tingkat tapak secara partisipatif.

Sebelas, segera membentuk kelembagaan badan kelola KHDPK sampai tingkat tapak.

Dan, terakhit melakukan monitoring dan evaluasi (Monev) secara berkala pada seluruh kegiatan di dalam KHDPK.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler