jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Universitas Brawijaya Prof. Dr Candra Fajri Ananda menilai program subsidi harga gas bumi tertentu (HGBT) kepada sejumlah industri tidak efektif.
Program yang telah dijalankan sejak April 2020 ini telah gagal menjadikan produk-produk dari para penerima gas murah tersebut lebih efisien dan harganya kompetitif di pasar.
BACA JUGA: Jamkrindo Gelar Safari Ramadan di Tarakan
“Kebijakan HGBT ini seharusnya mampu menurunkan harga pokok produksi (HPP), tetapi dalam praktiknya tidak terjadi penurunan signifikan,” jelas Prof Candra.
Menurutnya, meski harga eceran produk tidak berubah, namun HPP tidak turun.
BACA JUGA: Masyarakat Diimbau Mudik dengan Kendaraan Umum
Itu sebabnya, dia menilai tantangan yang dihadapi oleh sektor industri bukan pada persoalan gas, melainkan akibat kegiatan operasional perusahaan yang efisien.
“Kami mendeteksi sektor korporasi mungkin tidak beroperasi secara efisien yang mengakibatkan potensi kerugian yang signifikan. Korporasi juga perlu memastikan penggunaan gas meningkat, ketersediaan dan distribusi gas lancar, serta efisiensi dalam penyaluran,” terang dia.
BACA JUGA: Kolaborasi Tiktok & Tokopedia Dinilai Bukan Monopoli
Prof Candra menyarankan agar dilakukan pembatasan terhadap industri penerima manfaat.
Menurutnya, program ini memiliki trade off yang menguntungkan beberapa pihak namun merugikan yang lain, sehingga diperlukan peninjauan kembali.
Dari 7 sektor industri yang mendapatkan subsidi HGBT, industri pupuk paling memiliki multiplier effect. Oleh karenanya jika kebijakan ini dihentikan harga pupuk dipastikan akan melambung.
“Sebaiknya program seperti ini harus lebih difokuskan ke industri yang berdampak pada hajat hidup orang banyak seperti pupuk,” sebut Candra.
Berdasarkan data pemerintah pada 2022, komponen biaya gas dalam biaya produksi bervariasi.
Paling tinggi adalah industri pupuk di mana komponen biaya gas mencapai 58,48%, kemudian kaca 24,84%, keramik 17,87%, oleochemical 8,96% dan petrokimia sekitar 7,72%.
Adapun kontribusi biaya gas di industri baja sekitar 7,26% dan yang paling rendah industri sarung tangan sebesar 5,90%.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada