jpnn.com, JAKARTA - Program Susu Gratis Paslon Capres nomor urut 02 menjadi perbincangan publik belakangan ini dan dilirik oleh negara lain untuk ikut berkompetisi.
Berbagai negara sudah mulai ancang-ancang untuk ikut berkompetisi dalam penyediaan produk susu yang dibutuhkan.
BACA JUGA: Program Susu Gratis Sukses di Banyak Negara, Apa Resepnnya?
Selain negara-negara yang telah lama menjadi penyedia bahan baku dan produk susu di Indonesia seperti Eropa, Amerika, Australia dan New Zealand, santer terdengar bahwa produk dari negara seperti Tiongkok juga akan ikut menawarkan produk susu ke pasar Indonesia.
Dengan potensi makin banyaknya pemain di industri susu, sangat penting untuk memastikan keamanan produk tersebut dengan melihat jejak sejarah keamanan pangan di negara asal di mana produk tersebut diproduksi.
BACA JUGA: Relawan GSP Jateng Temui Warga untuk Sosialisasikan Pilpres Sekali Putaran dan Bagikan Susu Gratis
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho meragukan kemampuan produksi susu dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
"Saya takutnya impor susu akan makin besar,” ujar Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef ini.
BACA JUGA: Menjelang Tahun Baru 2024, Pengunjung Nara Kupu Jogja Mendapat Susu Gratis
Kekhawatiran terhadap impor susu bukan tanpa sebab. Pada 2008 yang lalu, Indonesia pernah melarang impor susu yang berasal dari Tiongkok karena adanya skandal tercemarnya susu bubuk yang membahayakan kesehatan.
Duta Besar RI untuk Tiongkok saat itu, Sudrajat mengatakan hal itu dilakukan demi melindungi konsumen dari hal yang tidak diinginkan.
“Adanya larangan impor itu adalah kejadian wajar dan merupakan reaksi pasar dengan adanya keracunan yang dialami ribuan bayi dan bahkan ada yang meninggal,” kata Sudrajat.
Sebagai produk pangan yang telah dikonsumsi secara global selama berabad-abad, susu memiliki sejarah panjang dalam hal keamanan pangan.
Namun, tragedi susu bermelamin di Tiongkok pada 2008 menjadi peristiwa yang tidak terlupakan.
Skandal ini menyebabkan 300.000 orang terkena dampaknya, dengan ribuan di antaranya harus dirawat di rumah sakit dan enam bayi meninggal karena batu ginjal.
Pada saat itu, Sanlu, salah satu dari 22 perusahaan yang terlibat dalam skandal tersebut, akhirnya mengidentifikasi bahwa melamin, sebuah zat kimia berbahaya, telah ditambahkan ke susu untuk meningkatkan kadar protein.
Hal ini menyebabkan produk tersebut lolos uji kadar protein dan tes nutrisi. Tingkat melamin yang ditemukan dalam susu tersebut jauh melampaui batas yang diperbolehkan, menimbulkan kekhawatiran akan keamanan produk susu.
Meskipun tragedi tersebut telah berlalu lebih dari satu dekade yang lalu, dampaknya masih terasa hingga sekarang.
Publik kehilangan kepercayaan pada produk susu lokal, seperti yang terungkap dalam survei yang dilakukan oleh firma konsultan McKinsey & Co.
Lebih dari 10 ribu responden dalam survei tersebut lebih memilih susu impor, terutama dari Hong Kong, sebagai pilihan mereka.
Rencana salah satu paslon untuk menyediakan makan siang dan susu gratis bagi anak-anak Indonesia memunculkan kompetisi baru dalam industri susu.
Sejarah tragis susu bermelamin di Tiongkok 2008 mengingatkan akan pentingnya keamanan produk susu.
Dengan makin meningkatnya kesadaran akan keamanan pangan, tantangan bagi produsen susu, baik lokal maupun impor, adalah memastikan produk mereka memenuhi standar keamanan yang ketat untuk memperoleh kembali kepercayaan publik.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean