Proklamasi Perlawanan dari Balik Terali Besi

Kisah Misbakhun dengan Buku

Selasa, 16 Oktober 2012 – 13:01 WIB
Buku "Malawan Takluk!" karya Muhamad Misbakhun.
HIDUP di balik terali besi nyaris tak pernah terbersit di benak Mukhamad Misbakhun. Kasus Century yang mau dibongkarnya, justru mengantarkannya ke penjara.

Pemenjaraan yang dipaksakan dan proses hukum yang sarat kejanggalan itu pula yang dituturkan Misbakhun dalam buku "Melawan Takluk!" yang diluncurkan Senin (15/10). "Melawan Takluk!" adalah catatan perjalanan Misbakhun lantaran dijerat kasus letter of credit (L/C) Bank Century, kasus yang menurutnya hasil rekayasa melalui konspirasi penguasa dan penegak hukum.

Mapan secara ekonomi dan punya masa depan sebagai politisi, ternyata bukan kondisi yang membuat Misbakhun betah menetap di comfort zone. Politik yang keras dan tanpa rasa iba, justru menjadi tantangan bagi Misbakhun untuk menempa diri. Kredonya simpel, sesuatu yang sangat bernilai memang harus diraih dengan kerja keras.

"Kata orang politik itu kotor. Tapi bagi saya, meski di lumpur hitam, intan akan tetap cemerlang dan berharga," tulis Misbakhun pada bagian awal bukunya.

Persinggungan Misbakhun dengan proses hukum L/C Bank Century dimulai ketika pada 26 April 2010 dirinya dipanggil Bareskrim Polri. Pemberitaan saat itu ramai dengan istilah LC bodong. Saat itu, Misbakhun adalah anggota Tim 9, sebuah tim yang terdiri dari para politisi muda di DPR yang menginisiasi  pengungkapan kasus bailout Rp 6,7 triliun untuk Century.

Masih pada 26 April 2010, tepat pukul 20.00, sebuah surat penangkapan disodorkan penyidik Polri ke Misbakhun. Sebuah Berita Acara Penahanan juga disiapkan oleh penyidik Bareskrim Polri. Saat itu pula detik-detik penting dalam kehidupan Misbakhun mulai berjalan.

Tapi tekad sudah bulat dan perlawanan sudah terlanjur dideklarasikan. Babak awal untuk melawan takluk baru saja dimulai dan Misbakhun menolak menandatangani berita acara penahanan.

Tapi eksekusi penahanan harus dilakukan penyidik Bareskrim. Misbakhun hanya punya satu cara menyiasatinya, yakni mengubah Berita Acara Penolakan Penahanan bahwa penahanannya bukan karena kasus LC Bodong, tapi karena melawan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Karenanya dalam buku itu (halaman 16), Misbakhun melampirkan salinan Berita Acara Penolakan Penahanan yang sudah direvisi penyidik Polri. Alasan penolakannya jelas : "Saya ditahan karena saya melawan SBY."

Berita utama untuk media massa pada keseokan harinya pun tak perlu ditebak lagi. Halaman muka media cetak menulis tentang Misbakhun. Tapi bagi pria asal Pasuruan itu, pada saat mulai menjalani penahanan itu pula kemenangan mulai diraih.

Selanjutnya, Misbakhun dalam bukunya mulai bertutur tentang kehidupan di tahanan. Sebagai manusia normal, Misbakhun tetap merasakan beratnya berpisah dengan keluarga, terutama istri dan ketiga anaknya. Karenanya Misbakhun pun menulis dalam bukunya, bahwa saat itu dalah bagian terberat dalam kehidupan keluarganya.

Tapi seiring perjalanan waktu, Misbakhun tersadarkan bahwa penjara telah banyak melahirkan tokoh-tokoh besar. Di tahanan Bareskrim pula Misbakhun bertemu dengan kolega lamanya, maupun tokoh-tokoh beken. Abu Bakar Ba"asyir adalah salah satunya.

Dan tahanan Bareskrim pula yang menjadikan Misbakhun semakin tahu bagaimana melawan penguasa. Baginya, penahanan itu bukan berarti harus dilawan dengan kepasrahan. Misbakhun menggunakan istilah "ikhlas tapi aktif" untuk mewakili kisah perjuangannya dari balik terali.

Proses hukum memang akhirnya mengantarkan Misbakhun ke penjara. Putusan tingkat pertama hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA) menyatakan Misbakhun bersalah.

Implikasi putusan hukum itu pun sudah tak bisa dielakkan Misbakhun. Status sebagai anggota DPR dipreteli, sementara bisnis yang sudah lama dirintisnya juga harus dimulai dari titik nol lagi. Beruntung keluarga Misbakhun kuat menjalani tahapan itu.

Namun dalam proses Peninjauan kembali (PK), Misbakhun justru dinyatakan tidak bersalah sebagaiama dakwaan dan harus direhabilitasi. Karena itu Misbakhun menyebut proses hukum yang dijalaninya itu adalah bukti nyata kriminalisasi oleh penguasa. Ia menggunakan istilah "menjadi narapidana karena menginterupsi penguasa."

Karenanya dalam salah satu bab Misbakhun menuliskan : "Penjara adalah solusi yang mereka pilih untuk membungkam saya. Untuk melakukan itu, kekuasaan membutuhkan alat justifikasi. Hukum menyediakan kebutuhan itu. Terjadilah klaborasi antara hukum dan kekuasaan. Saya korban dua kolaborator itu. Hukum mempersembahkan dirinya untuk melayani kepentingan kekuasaan, melayani kebutuhan pada legitimasi."

Buku setebal 176 halaman itu tentu terlalu tipis untuk menuangkan detil tentang saat-saat Misbakhun menjalani proses hukum. Tapi buku itu sudah cukup padat untuk menjadi sebuah penanda tentang proklamasi sikap Misbakhun dalam melawan penguasa yang inging membungkamnya.

Buku itu juga  tidak disertai dengan puja-puji tokoh yang biasa dikuip untuk sampul belakang. Tapi mantan wakil Presiden Jusuf Kalla saat menjadi pembicara kunci pada peluncuran buku ini memberikan sebuah pengakuan sekaligus peringatan.

Pengakuan dari JK muncul karena perjuangan Misbakhun untuk membersihkan diri dari jerat rekayasa hukum telah berhasil dengan dikabulkannya PK. Sementara peringatan dari JK adalah sinyal bahwa siapapun politisi yang ingin mnegakkan kebenaran harus berhati-hati saat menantang penguasa, karena bisa terjebak persoalan yang tak disangka-sangka.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Periksa Nazaruddin untuk Kasus Hambalang

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler