Propaganda Rusia dan Masa Depan Demokrasi

Oleh: Boni Hargens, Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)

Minggu, 10 Februari 2019 – 19:25 WIB
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens (kanan) saat menyampaikan pengantar diskusi dengan tema "Propaganda Rusia, Ancaman Bagi Demokrasi Kita?" di Jakarta, Sabtu (9/2). Foto: Dok. LPI for JPNN.comLPI

jpnn.com, JAKARTA - “Propaganda Russia” adalah istilah yang muncul dalam peta politik global sejak Perang Dingin. Rusia selalu dinamis dalam menerapkan pendekatan propaganda dalam rangka memperkuat pengaruhnya di dunia.

Di abad ke-21, sejak serangan 2008 ke Georgia, terjadi evolusi yang luar biasa dalam pendekatan Rusia untuk Propaganda (Paul & Matthews, 2016).

BACA JUGA: Pengamat Yakin Strategi Semburan Fitnah Pasti Gagal

Pendekatan baru ini diperkuat saat pencaplokan semenanjung Krimea tahun 2014 di negara itu. Pendekatan yang dikenal dengan istilah “Firehose of Falsehood” ini terus diperkuat ketika mendukung konflik yang sedang berlangsung di Ukraina dan Suriah dan dalam rangka melawan sekutu NATO.

Dengan kata lain, “Firehose of Falsehood” menjadi model propaganda baru pasca-Perang Dingin.

BACA JUGA: Kiai Maruf Tak Bela Jokowi soal Propaganda Rusia

Kehadiran teknologi memungkinkan Rusia menemukan model propaganda baru dalam politik global.

Christopher Paul dan Miriam Matthews (2016) memakai istilah “Firehose of falsehood” karena dua karakter dasar ini: (a) besarnya jumlah saluran informasi dan pesan setelah hadirnya Internet and (b) niat tanpa rasa malu untuk menyebarkan berita bohong. Mereka mengatakan, Propaganda Rusia memang menghibur, tetapi membingungkan sekaligus membuat audiens kewalahan (Paul & Matthews, 2016).

BACA JUGA: Simak Pembelaan Jokowi soal Teori Propaganda Rusia

Lebih lengkapnya, ada empat ciri dari “Propangada Rusia”:

1. High-volume and multichannel
2. Rapid, continuous, and repetitive
3. Lacks commitment to objective reality
4. Lacks commitment to consistency

Dalam politik elektoral abad ke-21, pendekatan Rusia ini menjadi trend baru yang melengkapi skenario negative campaign yang sudah berkembang lama sejak akhir era perang Vietnam di Amerika Serikat. Pendekatan negative di banyak Negara berkembang kebabsalan sehingga menjadi “kampanye hitam” (black campaign).

Suburnya hoaks dan dasyatnya narasi kebencian yang berbalut “politik identitas” sejak 2016 menandakan bahwa Propaganda Rusia telah diadopsi dalam politik elektoral di Indonesia. Ada kelompok yang bernafsu meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Model politik berbasis kebohongan yang diterapkan dalam konteks perang diterapkan dalam konteks pemilu. Ini adalah ancaman serius terhadap ketahanan demokrasi dan peradaban an sich.

BACA JUGA: Simak Pembelaan Jokowi soal Teori Propaganda Rusia

Diterapkannya Propaganda Rusia menjadi kecemasan kami karena beberapa alasan. Pertama, pemilu dipandang sebagai perang, bukan kontestasi pilihan politik. Kalau dipahami sbagai perang, maka pemilu berpotensi melahirkan kekerasan horizontal yang serius karena membelah masyarakat dengan cara kasar dan jahat.

Kedua, pendekatan Rusia menghancurkan seluruh tradisi dan budaya politik Indonesia yang berbasis kekeluargaan. Demokrasi Pancasila adalah kombinasi antara demokrasi modern dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kekeluargaan dan persaudaraan di tengah perbedaan. Pendekatan baru ini menghancurkan seluruh prinsip baik ini.

Ketiga, kepemimpinan politik yang dilahirkan dari model propaganda kebohongan akan melahirkan rejim kebohongan. Konsekuensinya, kekuasaan tidak akan bekerja untuk rakyat melainkan utuk kepentingan oligarki nasional maupun global yang telah berjasa dalam pemenangan. Untuk itu, kami menghimbau agar model propangada ini segera dihentikan.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gerindra: Pernyataan Jokowi Tak Sekadar Blunder tapi Bunuh Diri


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler