Proporsional Tertutup Dekat dengan Politik Uang

Senin, 25 Juli 2016 – 07:48 WIB
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini. Foto: dok jpnn

jpnn.com - JAKARTA-Sistem pemilihan umum kembali jadi perdebatan hangat di parlemen. Wakil rakyat terbelah antara yang setuju mempertahankan sistem proposional terbuka seperti dua pemilihan sebelumnya, dengan mereka yang lebih memilih sistem tertutup.

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini, terlalu sering mengganti sistem pemilu akan berdampak negatif. Pasalnya, hal tersebut dipastikan membuat masyarakat bingung. "Kita jangan terburu-buru mengganti sistem pemilu. Sebab masyarakat sudah mulai terbiasa berinteraksi dan memilih calon," katanya kepada INDOPOS, Minggu (24/7).

BACA JUGA: Cak Imin Persilakan Jokowi Evaluasi Menteri dari PKB

Titi berpendapat, sistem terbuka membuat pemilih lebih bisa mengontrol calon. Selain itu, sistem terbuka juga mengurangi peran parpol dalam menyetir calon anggota legislatif. "Proporsional terbuka memberi ruang lebih dalam membatasi oligarki di partai politik," ujarnya.

Sebaliknya, lanjut Titi, sistem tertutup akan membuka pintu bagi politik transaksional antara calon dengan partai. Karenanya, Titi justru mengusulkan penguatan sistem proporsional terbuka.

BACA JUGA: Halusss...Sindiran Cak Imin untuk Golkar dan PAN Soal Reshuffle

"Yakni memperkokoh konsistensi penegak demokratisasi memastikan demokratisasi internal partai berjalan. Kalau sistem tertutup celah candidacy buying akan lebih mungkin terjadi antara calon dengan elite partai," ujarnya. 

Terpisah, pengamat politik UIN Jakarta Adi Prayitno menilai keinginan pemerintah untuk merevisi UU 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, agar kembali sistem proposional tertutup tidak tepat. Sebab, skema kaderisasi partai politik masih compang-camping.

BACA JUGA: Horeee... Menko PMK Bagi-Bagi Sepeda

"Sistem proposional terbuka lebih oke, karena beberapa sebab. Pertama, membiarkan rakyat yang menentukan siapa yang menjadi wakil mereka di parlemen, bukan partai politik. Kedua, partai politik kita sejauh ini tak berfungsi dengan baik, rekruitmen dan kaderisasinya masih compang camping," ujar Adi.

Analis politik The Political Literacy Institute tersebut menambahkan, meski kedua sistem memiliki kekurangan dan kelebihan, namun sistem proposional terbuka akan memberikan kesempatan yang luas bagi rakyat. "Dalam konteks demokrasi elektoral, rakyat sebagai rajanya, bukan partai politik," ujarnya. (dli/dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ternyata, 40 Prajurit Sakit Gara-gara Kejar Santoso, Ada yang...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler