Proyek Abal-Abal Bikin Pangeran Saudi Makin Tajir

Minggu, 12 November 2017 – 07:55 WIB
Ilustrasi. Foto: Pixabay

jpnn.com - Bagaimana sebenarnya praktik korupsi di Arab Saudi berlangsung? Umumnya bukan dengan jalan-jalan sekeluarga menggunakan uang negara, menerima suap, atau mendapatkan hadiah-hadiah mahal, melainkan dengan penggelembungan nilai kontrak.

Para pangeran dan pejabat senior bisa tiba-tiba menjadi miliarder gara-gara kontrak yang nilainya dilipatgandakan berkali lipat. Bisa juga kontrak itu hanya ada di atas kertas alias abal-abal.

BACA JUGA: Bersih-Bersih Korupsi ala Arab Saudi

Salah satu contohnya proyek pembangunan gorong-gorong besar-besaran di Jeddah. Kontraktor hanya menaruh penutup lubang got di seluruh kota, tapi tidak pernah ada pipa pembuangan di bawahnya.

Pada 2004 lalu, penulis Amerika Serikat (AS) Lawrence Wright menulis kasus tersebut di majalah New Yorker dengan judul The Kingdom of Silence.

BACA JUGA: Seperti Hitler, Pangeran Muhammad Habisi Kawan dan Lawan

Bukan tanpa alasan judul itu dipakai. Sebab, kasus seperti skandal gorong-gorong tersebut kerap terjadi. Namun, semua pihak tutup mata, termasuk media.

’’Saya sebagai editor salah satu koran besar saat itu bisa mengatakan bahwa kami semua memang mengetahuinya dan kami tidak pernah menulisnya,’’ tulis jurnalis asal Arab Saudi Jamal Ahmad Khashoggi dalam kolomnya di Washington Post.

BACA JUGA: Yaman Sekarat, Slang Infusnya Disumbat Arab Saudi

Kritik adalah hal terlarang. Khashoggi bahkan pernah dilarang tampil di TV dan menulis di media gara-gara mengkritik kebijakan Timur Tengah Presiden AS Donald Trump yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan Riyadh.

Contoh lainnya adalah pembangunan bandara di lokasi yang tidak semestinya. Hanya agar pangeran yang memiliki tanah tersebut mendapatkan keuntungan besar.

Di Saudi, keluarga kerajaan memonopoli kepemilikan lahan. Hanya sekitar 40 persen penduduk di sana yang bisa memiliki rumah dan tanah sendiri.

Khashoggi yang melarikan diri dari Saudi pada 18 September lalu karena tulisannya yang mengkritik pemerintah itu sedikit meragukan kemampuan Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) menghapuskan korupsi.

Sebab, putra mahkota yang berusia 32 tahun itu juga terkenal senang berfoya-foya dan hidup mewah. Pada 2015 lalu, misalnya, dia menjadi pembicaraan setelah membeli yacht senilai GBP 420 juta atau setara Rp 7,49 triliun.

Jean-Francois Seznec dari Atlantic Council memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, operasi antikorupsi yang dimotori MBS itu berhasil mengirimkan pesan pada keluarga kerajaan. Bahwa kekayaan dan hak istimewa mereka telah berakhir. ’’Ini adalah revolusi budaya,’’ ujar Seznec.

Bisnis tidak akan lagi berputar pada keluarga kerajaan dan orang-orang terdekatnya. Pengusaha muda akan memperoleh kesempatan untuk berkembang.

Namun, untuk sampai pada tahap itu, mungkin butuh waktu lama. Sebab, sejauh ini tidak ada transparansi. MBS belum mengungkap secara jelas apa kesalahan 208 orang yang sudah ditangkapnya, kerugian negara yang ditimbulkan masing-masing orang, dan sejak kapan terjadinya.

Beredar kabar bahwa Pangeran Al Waleed terlibat pencucian uang, suap, dan memeras para pajabat. Sedangkan Pangeran Miteb melakukan penggelapan dan memberikan kontrak pada perusahaannya sendiri senilai puluhan miliar dolar AS. (Financial Times/The Washington Post/sha/c17)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyelidikan Kasus AW 101 Tak Sesuai Prosedur?


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler