jpnn.com, JAKARTA - Status tersangka Direktur PT Dirgantara Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh dinilai tidak sah. Pasalnya, tak ada tim koneksitas dalam menyidik kasus dugaan korupsi helikopter AW 101 yang melibatkan anggota TNI dan sipil.
Hal itu dikatakan Maqdir Ismail, kuasa hukum Irfan sebagai pemohon dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
BACA JUGA: PT Militer Panggil Saksi Kasus Korupsi Peralatan Satelit
Menurutnya, ketentuan pasal 198 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mewajibkan dibentuknya tim apabila perkara juga melibatkan masyarakat umum. Tim itu terdiri dari Polisi Oditur Militer (POM) dan penyidik dalam lingkungan peradilan umum.
Ketika tim koneksitas tidak dibentuk, lanjut Maqdir, maka telah terjadi kesalahan prosedur penyelidikan.
BACA JUGA: Ahli: Penetapan Tersangka Kasus Heli AW 101 Prematur
“Karena itu yang kita uji di sini. Karena tidak dibentuk tim koneksitas padahal itu amanat UU, maka penyidikan menjadi tidak sah dan penetapan status tersangka juga tidak sah,” kata Maqdir, Rabu (8/11).
Fakta itu terungkap, saat Maqdir memberikan pertanyaan kepada saksi fakta dari pihak termohon KPK, Direktur Pembinaan Penyidikan Polisi Militer (POM) TNI Bambang Sumarsono.
BACA JUGA: KPK Akui Ada Tersangka Baru Korupsi e-KTP
Saat menjawab pertanyaan Maqdir terkait, pelaksanaan ketentuan tim koneksitas dilakukan atau tidak. "Tidak melaksanakan. UU nomor 31 tahun 1997 tidak berubah, tetap ada," kata Bambang.
Bambang kemudian menjelaskan, pihak POM TNI dalam penanganan kasus ini sudah melakukan koordinasi dengan KPK.
Rapat koordinasi untuk pendampingan penentuan kerugian negara juga telah dilakukan yang dihadiri oleh BPK, PPATK, Babinkum serta POM TNI dan KPK.
“Penghitungan resmi dari BPK belum ada, hanya ada potensi kerugian negara oleh inspektorat. Saat ini penyidik POM TNI belum memiliki angka resmi kerugian negara dari BPK,” jelasnya.
Sementara saksi ahli bidang peradilan pidana, Arif Setiawan, mengatakan, peradilan koneksitas tidak relevan dilakukan karena ada perbedaaan kultur dan penerapan hukum berbeda antara sipil dan militer.
“Secara normatif peradilan koneksitas ada, namun akan mengalami ketidaksinkronan saat dilaksanakan peradilan ad hoc. Koneksitas sangat merugikan pihak militer, karena peradilannya dilakukan di sidang pidana umum,” kata Arif Setiawan.
Pendapat tersebut berbeda dengan pernyataan ahli hukum pidana Choirul Huda, dalam persidangan sehari sebelumnya. Menurut Huda, pasal 42 UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengkorodinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Karena itu, ada tim koneksitas terkait peradilan koneksitas militer dan sipil, dan KPK tidak berwenang menetapkan tersangka melainkan menjadi kewenangan tim koneksitas.
“Berdasarkan KUHAP, KPK hanya berhak mengumpulkan data terhadap pelanggaran saja, atau melakukan penyidikan. Hasil penyelidikan dan penyidikan dari POM TNI tidak bisa digunakan oleh KPK sebagai data dalam peradilan koneksitas,” kata Choirul Huda, dalam keterangan di sidang sehari sebelumnya (7/11). (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Fahri Hamzah: Panggil Orang Ada Batasnya Juga
Redaktur & Reporter : Adil