Saat unjuk rasa besar-besaran terjadi di Jakarta dan di beberapa wilayah lain di Indonesia, Kamis kemarin, Presiden Jokowi sedang meninjau lahan pangan terintegrasi untuk lumbung pangan atau 'food estate' di Kalimantan Tengah.

Ini adalah kelanjutan dari instruksi Presiden Joko Widodo untuk membuka lahan persawahan baru untuk mengantisipasi kekeringan dan ancaman kelangkaan pangan saat pandemi COVID-19.

BACA JUGA: Rupiah Mengalir Kompetitif dari Program Food Estate di Kalteng

"Presiden meminta BUMN dan daerah, serta Kementerian Pertanian untuk membuka lahan baru untuk persawahan yaitu lahan basah dan lahan gambut," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akhir April lalu.

Setidaknya, ada 200.000 hektar lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, yang siap jadi 'lumbung padi baru'.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Tinjau Percontohan Kawasan Food Estate Kalteng

Ini bukan pertama kalinya Pemerintah mencetuskan program 'food estate'.

Mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010 mencanangkan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang diikuti oleh program sejenis di Ketapang, Kalimantan Barat pada 2014.

BACA JUGA: Kuat Politik

Proyek MIFEE kemudian diteruskan oleh Presiden Jokowi di tahun 2015. Ambisi dari kegagalan masa lalu yang menuai kritik Photo: Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk meninjau food estate. (Foto: Sekretariat Presiden)

 

Dalam kunjungannya Kamis (08/10), Presiden Jokowi berharap model pengembangan lahan pangan terintegrasi di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, dapat meningkatkan pendapatan petani.

Ia menyampaikan, jika berhasil, 'food estate' di Kalimantan Tengah akan menjadi percontohan di lokasi lain.

Namun, penelusuran ABC menemukan sejumlah kritik atas rencana ini, salah satunya karena Presiden Jokowi dianggap tidak belajar dari kesalahan masa lalu.

Menurut Koordinator Wahana Lingkungan Hidup Edo Rakhman, rencana Presiden Jokowi serupa dengan program Sejuta Hektar Lahan Gambut yang digagas era pemerintahan Suharto yang gagal.

"Kami meminta agar Pemerintah tidak lagi mengulang kesalahan masa lalu dan berhenti gunakan pandemi sebagai alasan untuk mengeksploitasi [lingkungan]," ujar Edo.

Selain itu, Food First Information and Action Network (FIAN), lembaga internasional yang mengadvokasi hak pemenuhan pangan dan nutrisi, mengkhawatirkan maraknya calo tanah dalam program ini.

"Apa bedanya kebun pangan dan sawah? Kalau sawah kepemilikan per petak. Kalau kebun pangan skala luas, monokultur dan korporasi. Kondisi seperti itu broker bisa bermunculan," ujar Ketua Dewan Nasional FIAN Indonesia, Laksmi Savitri. Masyarakat adat penyangga pangan terancam

Hal lain dari program 'food estate' yang perlu dipertimbangkan menurut kajian Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah ancaman terhadap masyarakat adat.

Menurut Nikodemus Niko dan Rahman Alfian, penulis kajian tersebut, program 'food estate' di Papua membuat masyarakat adat di sana tidak mendapatkan perlindungan atas tanah dan pangan.

Dikhawatirkan, masyarakat adat di Kalimantan yang memiliki faktor budaya dekat dengan hutan dan tanah sebagai penghidupan akan mengalami nasib yang sama.

"'Food estate' adalah pengalihan dari semua kegiatan pertanian tradisional untuk pertanian modern, artinya suku Dayak di Kalimantan akan mengungsi di tanah mereka sendiri, karena cara manajemennya yang masih tradisional." Photo: Salah satu warga di Kokonao, Papua, sedang mengolah sagu. (Foto: Detik)

 

Belum lagi, dari sisi ketahanan pangan, setiap komunitas mempunyai konsep dan pengetahuannya masing-masing dalam menjaga kecukupan kelompok adatnya.

Ada budaya berladang secara tradisional, seperti yang dilakukan masyarakat adat Dayak Bakatik di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, misalnya, atau budaya berburu di wilayah lainnya.

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi juga mengingatkan jenis makanan pokok di nusantara yang bukan hanya nasi.

"Sagu adalah pangan yang selama ini dihancurkan secara struktural oleh negara ini," tutur Rukka kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Menurutnya, masyarakat adat yang memproduksi sagu dipaksa untuk percaya bahwa mereka bukan manusia kalau tidak makan nasi.

"Supaya masyarakat adat kehilangan rasa bangga akan sagunya, kehilangan ikatan dengan tanahnya, supaya ketika ada perusahaan yang datang, mereka akan bilang 'ya sudah ambil saja, isinya cuma sagu kok', padahal itu kan lumbung pangan mereka." Ketahanan pangan berbasis kearifan lokal

Rukka menilai, alih-alih membuka lahan gambut dan mencetak sawah baru yang masif dan tersentralisasi, sebaiknya Pemerintah memikirkan bagaimana masyarakat adat dan petani bisa berkontribusi untuk pembangunan Indonesia tanpa harus berhadapan dengan aparat.

"Kata Presiden Jokowi, pertanian kita naik enam belas koma sekian persen, tapi beliau tidak sadar bahwa angka itu adalah angka riil masyarakat, termasuk petani dan masyarakat adat."

Menurut Rukka, ketika wilayah adat masih utuh dan dikelola dengan baik, masyarakat adatlah yang berjaya di masa pandemi COVID-19.

"Mereka bahkan punya stok pangan cukup untuk bertahun-tahun," kata Rukka merujuk di antaranya masyarakat adat Ciptagelar di Jawa Barat dan Dayak Iban Sungai Utik di Kalimantan Barat.

Sejak Maret, AMAN sudah menyatakan 'lockdown' wilayah adat, melakukan adat ritual tolak bala, menghitung stok pangan yang dimiliki, dan mengisi lumbung-lumbung.

Mereka juga tidak menjual bahan pangan dan kembali menanam untuk mereka yang sudah selesai panen.

Sehingga salah satu penyumbang pertumbuhan sektor pertanian saat ini, menurut Rukka, adalah produk hasil kearifan lokal masyarakat adat.

"Justru karena resiliensi dari keberadaan kami, masyarakat adat dan petani di desa-desa inilah pertumbuhan terjadi." Photo: Warga menjemur ikatan padi (pocong) di Kasepuhan Adat Ciptagelar kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)

 

Nikodemus menilai, ketika mengeluarkan program ketahanan pangan, Pemerintah perlu mempertimbangkan dan memahami praktik masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan pangannya.

"Mewujudkan ketahanan pangan tidak berarti harus membuka lahan baru yang nantinya juga ditanami tanaman asing bagi para masyarakat," tulis Niko.

"Pembukaan lahan yang masif akan membuat masyarakat harus tercerabut dari pengetahuan lokal, ritus-ritus, dan kehidupan ideal mereka."

Rukka mengakui, kondisi masyarakat adat saat ini terimpit banyak hal.

Apalagi ditambah dengan pengesahan UU Cipta Karya pekan ini yang ditolak AMAN.

Meski ada penambahan luas hutan adat yang diakui pemerintah sudah mencapai sekitar 60 ribu hektare, menurutnya, perampasan wilayah adat dengan kekerasan meningkat, termasuk hampir 100 orang peladang tradisional yang dikriminalisasi.

"Masyarakat adat juga masih harus berhadapan dengan korporasi kelapa sawit atau tambang, sementara RUU Masyarakat Adat belum disahkan juga sesuai janji Presiden di Nawacita."

"Kami tidak punya kemewahan untuk pesimistis, jadi kami akan terus melawan secara kontinu," pungkas Rukka.

Ikuti berita seputar pandemi Australia di ABC Indonesia.

Video Terpopuler Hari ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pangi Heran, Saat Situasi Kacau, Jokowi di Pulang Pisau

Berita Terkait