jpnn.com - JAKARTA - Komisioner Ombudsman RI (ORI) La Ode Ida menilai perguruan tinggi di Indonesia saat ini ibarat kantor proyek. Penilaiannya didasari maraknya korupsi sektor pendidikan di lingkungan perguruan tinggi negeri (PTN).
"Kita perlu coba renungkan kembali apa yang seharusnya jadi misi perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi tak ubahnya sebagai kantor proyek. Enggak boleh lagi ini," katanya dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Sabtu (29/10).
BACA JUGA: Menolak Dipanggil KPK, Maruli Melawan?
Menurut ida, hanya sedikit perguruan tinggi yang memiliki orientasi meningkatkan kualitas pendidikan. Sementara mayoritas PTN lebih banyak mengejar proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah.
"Lebih parah lagi, pimpinan di negeri ini tidak peduli dengan kualitas perguruan tinggi," ujar dia.
BACA JUGA: Menpar Targetkan Sapu Bersih World Halal Tourism Award 2016
Mantan wakil ketua DPD RI itu menyebut kampus saat ini tidak ada bedanya dengan pertarungan politik dan perebutan jabatan. Sebab, di perguruan tinggi juga terjadi perebutan kekuasaan.
"Itu yang paling menyedihkan. Perguruan tinggi udah salah arah. Ideologi, orientasinya kekuasaan dan materi. Kita harus taubat nasional untuk pengelolaan perguruan tinggi," pungkasnya.
BACA JUGA: Duet Jonan-Archandra Memberi Warna Baru Sektor Minerba
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut 35 persen hak suara Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) M Nasir dalam pemilihan rektor PTN berpotensi korupsi. Karena itu, KPK akan melakukan kajian terkait penentuan hak suara menteri dalam pemilihan rektor tersebut.
"Kita akan diskusi dengan Pak Menteri mudah-mudahan nanti kalau pak menteri datang ada beberapa yang perlu dibenahi. Apakah porsi menteri yang 35 persen itu terlalu tinggi," kata Agus, Kamis (27/10).
Aturan mengenai pemilihan rektor tersebut tercantum pada Peraturan Menristekdikti (Permenristekdikti) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada PTN. Dalam Pasal 7 peraturan itu disebutkan, dalam penentuan rektor, menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih.
Sedangkan senat memiliki 65 persen hak suara dan masing-masing anggota senat memiliki hak suara yang sama. Besarnya hak suara menteri dalam pemilihan rektor bisa menjadi salah satu celah korupsi.
Hingga kini, KPK baru menemukan indikasi korupsi dalam pemilihan rektor di sejumlah PTN. Temuan tersebut masih dalam pengumpulan barang bukti dan keterangan.
"Data kami tidak sebanyak Ombudsman, ada di beberapa daerah. Tapi tidak perlu disebutkan, kalau terlalu spesifik nanti mereka malah siap-siap," ujar Agus.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengatakan, ketentuan tentang Menristekdikti punya hak 35 persen justru rawan intervensi. Dalam pemilihan rektor terkadang calon yang terpilih bukan yang memiliki suara terbanyak dari hasil pemilihan internal di senat.
"Karena ada 35 persen hak menteri untuk menentukan. Sehingga nomor tiga sekalipun bisa jadi rektor. Karena menteri punya hak untuk menambahkan nilai," tutur politisi PKS itu.(put/jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Festival Bahari Kepri 2016 Pecahkan Rekor Yachter
Redaktur : Tim Redaksi