jpnn.com - Ketua DPW PSI Aceh Kamaruddin minta pemerintah segera mengevaluasi pengelolaan dana otonomi khusus Aceh. Menurutnya, setiap detail dari kebijakan tersebut perlu diperiksa secara seksama oleh pemerintah pusat.
Hal itu disampaikannya menanggapi penangkapan Gubernur Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi oleh KPK baru-baru ini. Ditegaskannya, evaluasi tersebut mutlak diperlukan untuk menghindari kasus serupa terulang lagi di masa mendatang.
BACA JUGA: PSI: Untung Jokowi Tak Berkiblat ke AS
“Yang paling mendesak sekarang adalah Aceh membutuhkan adanya master plan atau rencana induk pengelolaan dana otonomi khusus yang jelas peruntukannya. Bisa jadi semacam ‘GBHN’ bagi Aceh ke depan, sehingga siapa pun kepala daerah yang terpilih, harus menjalankannya sesuai aturan main yang diatur dalam rencana induk tersebut,” kata Kamaruddin dalam keterangan persnya, Senin (9/7).
Agar rencana induk itu dapat berjalan efektif, Kamaruddin menyarankan pemerintah provinsi dan DPR Aceh melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai pengawas. Sehingga, rencana induk itu dijalankan sebagaimana mestinya.
BACA JUGA: Prabowo Dituntut Buktikan Markup LRT atau Minta Maaf
Selama ini, kata Kamaruddin, pengelolaan dana otonomi khusus Aceh ini terkesan tidak beraturan. Setiap rezim yang berkuasa, menafsirkan sendiri-sendiri peruntukan dana otsus tersebut. Akibatnya, sering tidak tepat sasaran dan rawan disalahgunakan.
Kamaruddin menambahkan, sejak 2008 hingga 2017, Aceh telah menerima Dana Otonomi Khusus sejumlah Rp 56,67 triliun.
BACA JUGA: PSI Endus Niat Jahat Demokrat di Balik Wacana JK-AHY
“Uang sebanyak itu seharusnya bisa mengubah wajah Aceh. Mengubah nasib masyarakat kita. Tapi yang terjadi, hingga 2017, Aceh masih menjadi salah satu provinsi termiskin. Tahun lalu, Aceh dinobatkan sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Awal 2018, Aceh masuk enam provinsi termiskin di Indonesia. Ini sangat memprihatinkan kita semua,” kata Kamaruddin.
Pentingnya rencana induk pengelolaan dana Otsus ini sebenarnya sudah disuarakan oleh Bank Dunia sejak 2011.
Ketika itu, Bank Dunia menemukan bahwa ketiadaan master plan telah membuat dana Otsus seperti menguap pada proyek-proyek kecil tak berbekas.
Studi Bank Dunia menemukan, setidaknya 54% dari 5.313 kegiatan pada 2010 yang bersumber dari dana otsus tergolong berskala kecil (di bawah Rp 100 juta), tidak strategis dan tidak memiliki daya ungkit pembangunan.
Di antaranya digunakan untuk pembangunan pagar sekolah, paving block, dan toilet. Tentu saja ini menyimpang dari tujuan utama dana otsus untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Contoh lain adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh soal penggunaan dana otonomi khusus periode 2008 - 2012.
BPK menyimpulkan, dari total Rp 21,1 triliun uang otonomi khusus yang dikucurkan saat itu, sekitar 24 persen tidak jelas rimbanya.
“Karena itu, di sisa waktu yang ada, mari kita benahi lagi tata kelola dana otonomi khusus ini agar benar-benar terasa dampaknya bagi masyarakat. Masih ada dana sekitar Rp 98 triliun hingga 9 tahun ke depan. Jangan sampai ini pun menguap tak berbekas,” kata Kamaruddin. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PSI: Selamat Bekerja Kabinet Tun Mahathir
Redaktur & Reporter : Adil