jpnn.com - Dua tahun menuju Pilpres 2024. Sejumlah bakal calon presiden dan wakil presiden pun mulai bermunculan.
Dari Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, Khofifah Indar Parawansa, Sandiaga Uno, Erick Thohir, sampai Agus Harimurti Yudhoyono.
BACA JUGA: Survei SMRC: Elektabilitas Ganjar Pranowo Masih Unggul Seusai Anies Deklarasi jadi Capres
Mereka mengusung visi-misi berbeda dan berlomba menyampaikannya pada masyarakat lewat berbagai cara.
Namun, satu hal yang sama dari mereka: tak satupun berusia di bawah 40 tahun.
BACA JUGA: Musra III, Gubernur Riau Berharap Rakyat Pilih Capres Penerus Jokowi
Hal itu terjadi lantaran syarat capres-cawapres di negeri ini mesti berusia minimal 40 tahun, sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf (q) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebuah aturan yang menurut saya adalah buah dari pendekatan lama psikologi kepemimpinan. Bahwa kelayakan seorang pemimpin sebatas dinilai berdasarkan karakteristik personalnya, termasuk usia.
BACA JUGA: Reaksi Keras Kubu Munarman Terkait Pemecatan Immanuel Ebenezer sebagai Komisaris BUMN
Pendekatan semacam itu telah usang. Seperti dikatakan S Alexander Haslam dkk dalam buku The New Psychology of Leadership, pendekatan baru psikologi kepemimpinan semestinya tentang “kita”. Bukan tentang “saya”.
Artinya, seorang pemimpin harus mampu menjadi bagian dan bersedia memajukan kepentingan kelompoknya. Bukan seorang yang teridentifikasi memiliki hal-hal khusus dan membedakannya dari orang lain dalam kelompoknya, sehingga berhak mendapat kuasa dan pengaruh.
Kenapa demikian? Haslam dkk menyatakan, karena kepemimpinan bukan hanya tentang membuat orang mau melakukan sesuatu. Melainkan kepemimpinan adalah tentang membentuk keyakinan, keinginan, dan prioritas.
Pendeknya, kepemimpinan adalah tentang mencapai pengaruh, bukan mengamankan kepatuhan.
Sementara, kepemimpinan yang semacam itu mustahil terwujud dalam pendekatan psikologi lama.
Sebab, pemimpin yang lahir dari pendekatan lama adalah sosok yang dianggap lebih agung, terpisah dari kumpulannya, dan selalu menuntut kepatuhan.
Untuk mendapatkan pemimpin yang berorientasi pada “kita”, maka sudut pandang kriteria bukan pada individu calon pemimpin. Melainkan harus melihat struktur demografi dan identitas sosial yang ada dalam kelompok tersebut.
Dalam konteks bernegara berarti harus melihat struktur demografi dan identitas sosial masyarakatnya.
Terkait hal itu, bisa dikatakan syarat capres-cawapres harus berusia minimal 40 tahun menjadi tak relevan.
Setidaknya secara statistik demografi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat proporsi penduduk Indonesia dewasa terbanyak berusia 17-39 tahun. Jumlahnya mencapai 109,24 juta jiwa. Hampir separuh dari total penduduk negeri ini yang mencapai 275,36 juta jiwa per Juni 2022.
Sehingga, syarat batas usia minimal capres-cawapres sudah semestinya disesuaikan dengan fakta statistik tersebut. Lagi pula, bila hak memilih bisa diberikan kepada penduduk berusia 17 tahun ke atas, kenapa tidak hak dipilih? Bukankah aturan tak boleh diskriminatif dengan alasan apapun?
Selain itu, aturan batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun juga berpotensi menjadi bumerang bagi konsolidasi demokrasi.
Hal ini karena telah menghilangkan hak dipilih sebagian besar masyarakat dewasa di negeri ini dan menempatkan mereka dalam diskriminasi.
Padahal, seperti kata Robert A Dahl dalam Dilemma of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control, salah satu syarat tercapainya konsolidasi demokrasi adalah memberi hak memilih dan dipilih kepada seluruh masyarakat dewasa secara setara.
Sebab, tanpa hal itu akan terjadi despotisme politik yang bisa mengarah kepada lahirnya otoritarianisme baru.
Salah satu tanda despotisme politik ketika kandidat yang muncul dari pemilu ke pemilu adalah orang itu-itu saja dan berasal dari lingkaran itu-itu saja.
Seolah tak ada penduduk lain yang lebih layak dari mereka untuk memimpin negara. Ironisnya, kita bisa menemukannya di deretan nama yang disebut di awal tulisan ini.
Tentu kita berharap demokrasi di negeri ini bisa terus berjalan lebih lama lagi. Sama seperti halnya kita berharap bisa mendapatkan pemimpin yang benar-benar menjadi bagian dari rakyat.
Maka, tak ada cara lain kecuali merevisi syarat batas usia minimal capres-cawapres menjadi lebih luas dengan menyelaraskan pada batas minimal usia hak memilih.
Lagi pula, jika negara lain seperti Finlandia, El-Savador, dan Selandia Baru bisa mempunyai pemimpin berusia di bawah 40 tahun dan mereka baik-baik saja, kenapa Indonesia harus takut?(***)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari