jpnn.com, BATAM - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam, Rafki Rasyid, angkat bicara terkait hengkangnya perusahaan elektronik, PT Foster dari Batam ke Tilawah Myanmar.
Dia mengatakan keputusan PT Foster memindahkan pabriknya ke Myanmar tidak terlepas dari berbagai faktor. Salah satunya aksi demonstrasi yang sering terjadi di Batam membuat PT Foster menjadi tidak nyaman.
BACA JUGA: PT Foster Hengkang dari Batam, Pindahkan Pabrik ke Tilawah Myanmar
BACA JUGA: Ismail Hasani: Intimidasi Mahasiswa Papua di Sejumlah Daerah Cederai Kemanusiaan
“Ada kekhawatiran proses produksi akan terganggu dan khawatir juga terhadap keamanan aset-asetnya. Akibatnya, mereka cari tempat lain sebagai alternatif,” ungkapnya.
BACA JUGA: Pemilik Limbah Plastik di Taman Yasmin Kebun Akhirnya Diperiksa DLH
Rafki membandingkan antara Myanmar dan Batam. Maka, Batam kalah jauh dari segi daya saing, terutama di bidang ketenagakerjaan.
“Upah minimun di Myanmar hanya 100 Dolar Amerika dan di Batam sudah 270 Dolar Amerika. Parahnya upah minimum di Batam naik rata-rata delapan persen tiap tahunnya,” tuturnya lagi.
BACA JUGA: Bandit Jalanan Bonyok Dihajar Massa, Satu Unit Sepeda Motor Juga Ikut Dibakar
Kenaikan tersebut tidak sebanding dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja tiap tahunnya, dimana hanya naik satu persen tiap tahunnya atau bahkan stagnan.
BACA JUGA: Jokowi Kepada Pace, Mace, dan Mama di Papua: Saya Memahami Perasaan Kalian
“Akibatnya jadi beban berat untuk perusahaan padat karya seperti Foster dan Unisem. Anehnya walau upah sudah tinggi, frekuensi demo juga semakin tinggi,” jelasnya.
Menurutnya, ada saja hal yang dituntut serikat buruh agar bisa turun ke jalan.
“Seharusnya untuk daerah industri, demo jangan sampai terjadi, tapi bisa diselesaikan lewat meja perundingan atau pengadilan,” ucapnya.
“Demo memberikan citra negatif di mata investor,” katanya.(leo)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Asita Sebut 100 Ribu Wisman Kunjungi Batam Akhir Pekan Lalu
Redaktur & Reporter : Budi