jpnn.com - Majelis hakim sidang gugatan PT Graha Sidang Pratama (PT GSP) terhadap Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) meminta para pihak untuk dapat menahan diri dan tidak melakukan tindakan yang saling merugikan sampai persidangan selesai.
Hal tersebut disampaikan hakim Herdiyanto Sutantyo saat memimpin sidang pembacaan gugatan PT GSP kepada PPKGBK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (7/1).
BACA JUGA: Awal Permasalahan PPKGBK dan PT GSP Terkait Pengelolaan JCC
"Kami mendukung dan menyampaikan apresiasi atas imbauan majelis hakim, karena faktanya saat ini masih terjadi sengketa atas klausul perjanjian tahun 1991 yang ditandatangani para pihak. Tindakan pengambilalihan objek sengketa secara paksa jelas merupakan pelanggaran hukum," kata Amir Syamsudin, kuasa hukum PT GSP seusai persidangan.
Sejak pekan lalu sejumlah akses menuju Jakarta Convention Center (JCC) telah ditutup dan pintu menuju ruang-ruang pertemuan digembok oleh pengurus dari PPKGBK.
BACA JUGA: Honorer K2 Lolos PPPK tetapi Tak Aktif, Siap-Siap Saja
Sebagai investor sekaligus pengelola JCC, PT GSP kini tidak bisa menjalankan kontrak-kontrak dengan klien dan mitra bisnis yang sudah diteken sebelum kontrak berakhir pada 21 Oktober 2024 lalu.
"Semua yang dijalankan PT GSP ini adalah kontrak lama, karena banyak klien dan mitra bisnis yang melakukan kegiatan berulang. Makanya sejak tahun 2022 dan juga Maret 2024 PT GSP sudah memasukkan penawaran perpanjangan kerja sama sebagaimana perjanjian tahun 1991, tetapi tidak ditanggapi PPKGBK," jelas Amir.
BACA JUGA: Beraudiensi dengan Menteri LH, Ketum IKA SKMA Bicara Implementasi Ekonomi Hijau
Amir mengatakan perjanjian kerja sama BOT tersebut berakhir pada 21 Oktober 2024.
Namun, pihaknya telah mengajukan surat permohonan perpanjangan perjanjian kerja sama tersebut sejak 26 April 2022 untuk 15 tahun lagi sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat (2) Perjanjian Kerja sama tersebut, tetapi PPKGBK menyatakan tidak akan memperpajangnya dan akan mengelola sendiri.
Menurut Amir, alasan PPKGBK tidak memperpanjang kontrak kerja sama dengan PT GSP tidak beralasan hukum.
Selain bertentangan dengan kontrak BOT itu sendiri dan Peraturan Menteri Keuangan tentang BLU, juga alasan PPKGBK akan mengoptimalisasi aset JCC tersebut tidak masuk akal.
Dia menjelaskan selama lebih dari 30 tahun, PT GSP telah berhasil melakukan optimalisasi pengelolaan aset dan memberikan setoran kepada kas negara yang cukup besar, dan memberikan efek ekonomi kepada pelaku usaha lainnya.
“Jadi, penolakan perpanjangan kontrak oleh PPKGBK merupakan bentuk dari pemutusan kerja sama sepihak dan pelanggaran hukum,” tegas Amir.
Dalam gugatan hukum, PT GSP meminta PPKGBK untuk melakukan perpanjangan perjanjian kerja sama dengan syarat-syarat yang disepakati.
Apabila perjanjian tidak diperpanjang, PPKGBK diminta untuk membayar kerugian materil dan immaterial kepada PT GSP sebesar Rp 1,6 triliun.
“Nilai ini mencakup kerugian yang timbul akibat berakhirnya perjanjian secara sepihak dan potensi kehilangan pendapatan dari kontrak-kontrak yang telah berjalan hingga 2025," ungkap Amir.
Amir menyatakan keputusan Majelis Hakim dalam perkara ini akan menjadi langkah penting dalam menegakkan prinsip keadilan dan kepastian hukum, terutama dalam konteks kerja sama pengelolaan aset negara.
"Kami berharap Majelis Hakim memutuskan perkara ini secara adil dan menerima gugatan PT GSP untuk seluruhnya. Kami yakin bahwa bukti-bukti yang telah kami sampaikan secara jelas menunjukkan adanya tindakan yang melanggar hukum oleh pihak PPKGBK," pungkas Amir.(mcr8/jpnn)
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Kenny Kurnia Putra