jpnn.com, JAKARTA - CEO PT Vale Indonesia Tbk (PTVI) Febriany Eddy mengatakan berupaya agar perempuan lebih berkarya di sektor ekstraktif, karena sampai saat ini komposisi pekerja perempuan di perseroan masih di bawah sembilan persen.
"Kami menargetkan keterlibatan peran perempuan di PT Vale Indonesia ini dapat tumbuh mencapai 10 persen pada akhir tahun ini," kata Febriany di Jakarta, Selasa (3/10).
BACA JUGA: PT Vale Indonesia Sabet 3 Perhargaan di Good Mining Practices Kementerian ESDM
Namun, kata Febri minat perempuan untuk bekerja di sektor ekstratif masih rendah.
Hal itu tercermin dari pembukaan lowongan pekerjaan yang dilakukan PTVI.
BACA JUGA: Valentino Rossi Diberi Kunci Kota Tavullia, Ribuan Penduduk Berkumpul
Menurutnya, dari semua aplikasi tahun ini yang mencapai lebih dari 6.000 aplikasi, ia mengungkap hanya 21 persen aplikan dari perempuan.
"Ini menunjukkan secara umum, minat perempuan melamar ke perusahaan tambang masih rendah dan menyulitkan kami untuk meningkatkan komposisi pekerja perempuan," ujarnya.
Padahal, kata dia, keinginan untuk memperbesar peran perempuan di sektor ekstraktif ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendorong terwujudnya kesetaraan gender dalam berbagai aspek.
Saat ini peran perempuan dalam berbagai sektor terus meningkat, di mana sudah banyak perempuan yang menempati posisi-posisi penting di berbagai lembaga publik seperti kementerian, lembaga negara, BUMN/BUMD, kepala daerah maupun perusahaan dan organisasi bisnis.
Peran perempuan di sektor ekstraktif migas dan pertambangan menunjukkan tren yang terus membaik dibanding satu dekade lalu. Survei Angkatan Kerja Nasional pada Agustus 2021 menunjukkan proporsi pekerja perempuan pada industri ekstraktif Indonesia cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir.
"Pekerja perempuan di sektor migas dan pertambangan kurang dari 10 persen," katanya.
Febri pun sangat mendukung jika keterlibatan perempuan makin besar di sektor ekstraktif ini. Apalagi dalam Presidensi G20 tahun 2022 lalu, kata dia, telah dihasilkan Bali Leaders Declaration yang salah satunya, dalam poin ke-46, menyangkut komitmen gender equality and woman empowerment atau kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
"Sejauh ini, industri ekstraktif memang masih dipandang sebagai industri yang sangat maskulin. Tapi kami akan memberikan banyak ruang bagi perempuan untuk dapat bergabung,” tutur Febri.
Dia menegaskan tidak ada toleransi terhadap diskriminasi gender, termasuk pelecehan terhadap perempuan.
Menurutnya, hal tersebut bukan sekadar slogan, tetapi teladan sekaligus memastikan bahwa perusahaan sangat memperhatikan perlindungan terhadap pekerja perempuan.
“Tanpa melakukan ketentuan-ketenuan tersebut, kita tidak akan bisa menarik lebih banyak perempuan untuk bergabung ke dalam industri ekstraktif,” ujarnya.
Saat menjadi pembicara webinar bertajuk Menyoal Kesetaraan Gender Dalam Industri Ekstraktif, Sudah Sejauh Mana? beberapa waktu lalu, anggota MSG EITI Indonesian Astrid Debora Meliala menjelaskan beberapa pekerjaan rumah implementasi pengarusutamaan gender sektor ekstraktif.
Untuk pemerintah, pekerjaan rumahnya mengawasi pelaksanaan kewajiban pengarusutamaan gender yang telah dimandatkan regulasi, termasuk insentif dan disinsentif serta mewajibkan perusahaan memasukkan isu gender dengan indikator yang tepat dalam berbagai kewajiban pelaporan.
Namun, pekerjaan rumah perusahaan yaitu mengambil kebijakan dengan mempertimbangkan perspektif perempuan dan menyediakan lingkungan yang supportif dan inklusif gender.
"Selanjutnya bagi masyarakat sipil selalu aktif menyuarakan isu kesetaraan gender mulai dari tingkat tapak hingga level kebijakan, termasuk memasukkan isu gender dalam berbagai laporan inisiatif," kata Debora yang juga peneliti Senior Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul