JAKARTA - Sidang gugatan mantan Dirut PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto, Indosat, dan IM2 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akhirnya mencapai klimaks.
Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini memutuskan bahwa hasil audit BPKP atas kerjasama penggunaan frekuensi Indosat dan anak usahanya IM2 yang menetapkan adanya nilai kerugian negara sebesar Rp1,3 trilun adalah tidak sah atau cacat hukum.
Hakim PTUN diketuai oleh Bambang Heriyanto SH menilai, BPKP tidak berwenang mengaudit badan hukum swasta, seperti Indosat dan IM2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, BPKP harusnya memeriksa internal instansi pemerintah, bukan badan usaha atau lembaga-lembaga swasta.
"BPKP bisa memeriksa Indosat-IM2 asalkan diminta oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), namun fakta di persidangan Kemenkominfo tidak meminta, jadi ini melanggar aturan," ungkap anggota majelis hakim, Haryati, di persidangan di PTUN Jakarta, Rabu (1/5). Persidangan dihadiri semua pihak yakni penasehat hukum penggugat, mantan Direktur Utama IM2, Indar Atmanto, Indosat, IM2 dan pihak BPKP.
Lantaran melanggar ketentuan tersebut, hasil audit BPKP atas Indosat dan IM2 pun tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hakim pun dalam putusannya memerintahkan BPKP untuk segera mencabut hasil audit dan menghukum BPKP untuk menanggung biaya perkara selama persidangan berlangsung.
Keputusan majelis hakim PTUN Jakarta ini akan berdampak pada perkara tindak pidana korupsi yang juga sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sebab, akibat audit BPKP yang menyebut bahwa ada kerugian sebesar Rp1,3 triliun pada kerjasama penggunaan frekuensi antara Indosat dan anak usahanya, PT Indosat Mega Media (IM2), maka Indar Atmanto digiring menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor.
Indar Atmanto yang sejak awal menyakini akan memenangi perkara ini tampak sangat gembira saat mendengarkan putusan majelis hakim. Ia berharap kasus yang menjeratnya bisa segera berakhir.
"Ini menjadi bukti bahwa penegak hukum mampu dan bisa bersikap adil, Insya Allah, semoga ini menjadi penerang kami untuk mencari kebenaran," tegas Indar.
Kuasa Hukum Indar, Jufrry Maykel, meyakinkan, putusan tersebut sebagai bukti kuat hasil audit BPKP tidak bisa dijadikan dasar dakwaan pada pemeriksaan pidana di Pengadilan Tipikor Jakarta. Karena itu, Hakim Tipikor harus menolak dakwaan dan membebaskan Indar dari jerat hukum.
"BPKP terbukti melanggar banyak aturan undang-undang maupun peraturan pemerintah, BPKP terbukti menggunakan metode penghitungan yang keliru, jadi tidak ada korupsi di sini," tegas Jufrry.
Indar mendaftarkan gugatan di PTUN pada 26 Desember 2012 lalu. Indar menemukan kejanggalan hasil audit BPKP tersebut dan berpendapat bahwa semestinya kerugian negara dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bukan BPKP.
Sementara itu, anggota BRTI Nonot Harsono menyambut senang atas keputusan Pengadilan TUN tersebut. "Ini berita baik bagi industry telekomunikasi," kata Nonot Harsono di tempat yang sama.
Menurut Nonot, dengan adanya putusan PTUN tersebut, penggunaan laporan audit BPKP sebelum adanya keputusan hukum merupakan pelanggaran hukum. "Dugaan kerugian negara sebesar Rp1,3 triliun itu seharusnya tidak dihembuskan oleh BPKP sebelum adanya vonis dari majelis hakim. Ini bisa dibilang mendahului Majelis Hakim Tipikor," pungkasnya. (fuz/jpnn)
Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini memutuskan bahwa hasil audit BPKP atas kerjasama penggunaan frekuensi Indosat dan anak usahanya IM2 yang menetapkan adanya nilai kerugian negara sebesar Rp1,3 trilun adalah tidak sah atau cacat hukum.
Hakim PTUN diketuai oleh Bambang Heriyanto SH menilai, BPKP tidak berwenang mengaudit badan hukum swasta, seperti Indosat dan IM2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, BPKP harusnya memeriksa internal instansi pemerintah, bukan badan usaha atau lembaga-lembaga swasta.
"BPKP bisa memeriksa Indosat-IM2 asalkan diminta oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), namun fakta di persidangan Kemenkominfo tidak meminta, jadi ini melanggar aturan," ungkap anggota majelis hakim, Haryati, di persidangan di PTUN Jakarta, Rabu (1/5). Persidangan dihadiri semua pihak yakni penasehat hukum penggugat, mantan Direktur Utama IM2, Indar Atmanto, Indosat, IM2 dan pihak BPKP.
Lantaran melanggar ketentuan tersebut, hasil audit BPKP atas Indosat dan IM2 pun tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hakim pun dalam putusannya memerintahkan BPKP untuk segera mencabut hasil audit dan menghukum BPKP untuk menanggung biaya perkara selama persidangan berlangsung.
Keputusan majelis hakim PTUN Jakarta ini akan berdampak pada perkara tindak pidana korupsi yang juga sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sebab, akibat audit BPKP yang menyebut bahwa ada kerugian sebesar Rp1,3 triliun pada kerjasama penggunaan frekuensi antara Indosat dan anak usahanya, PT Indosat Mega Media (IM2), maka Indar Atmanto digiring menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor.
Indar Atmanto yang sejak awal menyakini akan memenangi perkara ini tampak sangat gembira saat mendengarkan putusan majelis hakim. Ia berharap kasus yang menjeratnya bisa segera berakhir.
"Ini menjadi bukti bahwa penegak hukum mampu dan bisa bersikap adil, Insya Allah, semoga ini menjadi penerang kami untuk mencari kebenaran," tegas Indar.
Kuasa Hukum Indar, Jufrry Maykel, meyakinkan, putusan tersebut sebagai bukti kuat hasil audit BPKP tidak bisa dijadikan dasar dakwaan pada pemeriksaan pidana di Pengadilan Tipikor Jakarta. Karena itu, Hakim Tipikor harus menolak dakwaan dan membebaskan Indar dari jerat hukum.
"BPKP terbukti melanggar banyak aturan undang-undang maupun peraturan pemerintah, BPKP terbukti menggunakan metode penghitungan yang keliru, jadi tidak ada korupsi di sini," tegas Jufrry.
Indar mendaftarkan gugatan di PTUN pada 26 Desember 2012 lalu. Indar menemukan kejanggalan hasil audit BPKP tersebut dan berpendapat bahwa semestinya kerugian negara dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bukan BPKP.
Sementara itu, anggota BRTI Nonot Harsono menyambut senang atas keputusan Pengadilan TUN tersebut. "Ini berita baik bagi industry telekomunikasi," kata Nonot Harsono di tempat yang sama.
Menurut Nonot, dengan adanya putusan PTUN tersebut, penggunaan laporan audit BPKP sebelum adanya keputusan hukum merupakan pelanggaran hukum. "Dugaan kerugian negara sebesar Rp1,3 triliun itu seharusnya tidak dihembuskan oleh BPKP sebelum adanya vonis dari majelis hakim. Ini bisa dibilang mendahului Majelis Hakim Tipikor," pungkasnya. (fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Makam Uje Tak Henti Diziarahi
Redaktur : Tim Redaksi