jpnn.com - Dua nama tokoh politik, yakni Puan Maharani dan Gus Muhaimin selama ini di-brandring dan disosialisasikan masif oleh masing-masing struktural partainya dalam posisi sebagai calon presiden pada pilpres 2024.
Sebuah ikhtiar politik yang "reasonable" dan wajar oleh karena keduanya pemegang "veto player" di internal partainya.
BACA JUGA: Puan Kunjungi Museum Nabi Muhammad di Madinah
Jauh lebih sehat dibanding bakal capres partai nonparlemen, apalagi nonpartai dan wara-wiri ormas.
Dalam realisme politik paket Puan dan Gus Muhaimin adalah salah satu opsi ‘paling mungkin’ dalam simulasi peta pilpres 2024.
BACA JUGA: Pengamat Puji Mbak Puan Karena Konsisten dan Tidak Ikut-ikutan Urusan Ini
Argumennya Simpel
Meskipun PDI Perjuangan satu-satunya partai bisa mengusung Puan dan pasangannya tanpa syarat koalisi tetapi problematis pada level keragaman varian pemilih di Indonesia.
BACA JUGA: Gus Jazil: PKB Ingin Memimpin Poros Koalisi dan Pak Muhaimin jadi Capres
Di sisi lain Pencapresan
Gus Muhaimin dihadapkan jalan politik tidak sederhana, yakni syarat koalisi partai untuk memenuhi ambang batas pencalonan.
Paket simulasi pasangan Puan dan Gus Muhaimin di atas lebih dari sekadar memenuhi aspek yuridis menurut UUD 1945 (Amendemen 2001) Pasal 6 A (Ayat 1 dan Ayat 2) bahwa pilpres diikuti ‘pasangan’ calon dan diusung partai politik atau gabungan partai politik dengan ambang batas minimal menurut UU Nomor 17 Tahun 2017 Pasal.222 sebesar 20% kursi DPRRI.
Komposisi Puan dan Gus Muhaimin adalah komposisi proporsional berdasarkan jumlah kursi DPR RI, representatif secara politik, kompeten dan berpotensi menang karena beberapa hal:
Pertama, pasangan Puan dan Gus Muhaimin adalah pasangan ‘generasi politik’ dengan kompetensi dan pengalaman politik memadai dan komplit.
Keduanya pernah memegang portofolio jabatan menteri dan kini sama-sama di jajaran pimpinan DPR RI.
Dari sisi politik mereka mewakili representasi rumpun pemilin terbesar di Indonesia, yakni rumpun pemilih nasionalis dan ‘religius nasionalis’.
Keduanya secara komplementer jangkar dari politik kebangsaan.
Penjaga terdepan ideologi pancasila dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kedua, selama ini selalu "dijejalkan" data survei baik Puan maupun Gus Muhaimin di posisi capres yang tidak "menjual" dibanding figur figur politik lain.
Survei secara individual (tidak berpasangan) seperti ini tidak memadai untuk preferensi membaca peta pilpres 2024 bahkan "agak menipu" dalam arti dilepaskan dari konstruksi yuridisnya.
Naik turun dan "up and down" elektoral dalam kerangka yuridis kontestasi pilpres variabelnya tidak dapat dilepaskan dari konteks simulasi pasangan dan kekuatan spirit konsolidasi koalisi dan "warna" partai pengusungnya di akar rumput.
Konstruksi analisis dalam konteks paket pasangan Puan dan Gus Muhaimin di atas selain berpotensi menang – juga hendak menjelaskan perspektif sejumlah pengamat yang menempatkan ruang politik Gus Muhaimin makin "sempit" pasca-terbentuknya bangunan "Koalisi Indonesia Bersatu" (Golkar, PAN, PPP) dalam perspektif penulis justru keliru.
PKB dan Gus Muhaimin bahkan makin tinggi posisi politiknya.
Di sisi lain tentu agak "naif" Puan representasi partai terbesar di DPR RI hanya diletakkan oleh framming para pengamat politik di posisi "wakil" dari Prabowo.
Penulis tentu memahami bahwa konstruksi paket pasangan di atas hanyalah salah satu opsi dalam perspektif peta pilpres 2024.
Setidaknya dalam konteks Gus Muhaimin berlaku dictum "ushul fiqih" pesantren "ma la yudrok kulluhu, la yutruk kulluh", - jika posisi ideal capres tidak tercapai, tentu posisi cawapres harga yang lebih dari sekadar pantas bagi Gus Muhaimin, Ketua Umum PKB, pemilik 10 persen kursi DPR RI dari ambang batas syarat pencapresan.(****)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Friederich Batari