Puasa dan Pengaruh Regenerasi Sel-sel Saraf

Oleh: Dekan School of Biomedical Sciences, National Health University, California USA, Taruna Ikrar

Rabu, 31 Mei 2017 – 00:34 WIB
Taruna Ikrar, Dekan School of Biomedical Sciences, National Health University, California USA. Foto Fajar Online/JPNN.com

jpnn.com - Selama berabad-abad, para ilmuwan dan filsuf terpesona oleh otak. Laju percepatan penelitian dalam ilmu saraf dan perilaku, membuat para ilmuwan belajar lebih banyak dalam 10 tahun terakhir, dibandingkan dekade sebelumnya untuk mengungkap berbagai misteri di dalam otak.

Otak adalah bagian paling kompleks dari tubuh manusia. Organ ini memiliki fungsi utama sebagai pusat kemampuan berpikir, kecerdasan, mengingat, inovasi, serta pusat penafsiran terhadap fungsi panca indra, inisiator gerakan tubuh, dan pengendali perilaku.

BACA JUGA: Puasa Bisa Jadi Solusi Jitu untuk Obesitas

Otak terdiri atas 100 miliar sel saraf (neuron) yang berhubungan. Hubungan antarsel saraf disebut sinaps. Hubungan sel saraf (sinaps) terjadi melalui impuls listrik dan kimiawi dengan neurotransmiter sebagai perantara.

Neurotransmiter berperan dalam pengaturan sistem kerja antarneuron. Jika terjadi gangguan pada neurotransmiter, neuron akan bereaksi abnormal.

BACA JUGA: Suguhkan Menu All You Can Eat di Bulan Ramadan

Ada dua golongan sel saraf, excitatory dengan neurotransmiter kimiawi (glutamat) dan inhibitory dengan neurotransmiter gamma aminobutyric acid (GABA).

Kedua jenis sel saraf itu berfungsi seimbang untuk melaksanakan fungsi otak. Ada banyak faktor yang memengaruhi fungsi otak, antara lain faktor genetik, psikologi/kejiwaan, lingkungan, temperatur, makanan, dan minuman.

BACA JUGA: Memilih Cara Bersedekah, Sembunyi atau Tampak

Dalam ilmu saraf dikenal istilah plastisitas otak, yakni kapasitas sistem saraf untuk mengubah struktur dan fungsinya sebagai reaksi terhadap keragaman lingkungan.

Tiga bentuk utama dari plastisitas otak adalah plastisitas sinaptik, neurogenesis, dan fungsional kompensasi. Plastisitas sinaptik terjadi ketika otak terlibat dalam pembelajaran dan pengalaman baru. Akan terjadi interaksi dan networking baru pada hubungan sel-sel saraf di otak.

Puasa dan Regulasi Tubuh

Berpuasa pada Ramadan bagi kaum Muslim bukan hanya menahan dahaga dan lapar mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Lebih dari itu, puasa adalah latihan psikis, mental, dan fisik biologis.

Secara psikis, orang yang menjalankan puasa akan memiliki jiwa dan perilaku sehat, menjauhkan pikiran dan perbuatan dari hal-hal yang bisa mencederai hakikat berpuasa. Dengan demikian, bisa menjadi manusia berakhlak mulia.

Secara biologis, puasa diharapkan bermanfaat bagi kesehatan. Puasa dilaksanakan dengan cara menahan dahaga dan lapar mulai dari subuh hingga magrib.

Selama puasa, tubuh mengalami proses metabolisme. Makanan dicerna sekitar 8 jam.

Rinciannya, 4 jam makanan disiapkan dengan keasaman tertentu dengan bantuan asam lambung, selanjutnya dikirim ke usus, 4 jam kemudian makanan diubah menjadi sari makanan di usus kecil, kemudian diabsorpsi pembuluh darah dan dikirim ke seluruh tubuh.

Waktu sisa 6 jam sebelum berbuka merupakan waktu bagi sistem pencernaan untuk beristirahat. Puasa merupakan aktivitas fisik dan biologis untuk mengatur dan memperbaiki metabolisme tubuh.

Puasa mengajarkan dan melatih tubuh berdisiplin makan dan minum secara tidak berlebihan, serta mengatur kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi.

Kondisi Kesehatan Tubuh

Menurut penelitian, puasa dapat menyehatkan tubuh karena makanan berkaitan erat dengan proses metabolisme tubuh. Saat berpuasa ada fase istirahat setelah fase pencernaan normal, yaitu 6-8 jam.

Pada fase itu terjadi degradasi dari lemak dan glukosa darah. Selain itu terjadi peningkatan high density lipoprotein (HDL) dan apoprotein alfa1, serta penurunan low density lipoprotein (LDL) yang sangat bermanfaat bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah.

HDL berefek baik bagi kardiovaskular dan LDL berefek negatif bagi kesehatan pembuluh darah.

Secara psikologis puasa menimbulkan suasana batin tenang, teduh, dan tidak dipenuhi rasa amarah sehingga menurunkan adrenalin. Saat marah terjadi peningkatan adrenalin 20-30 kali lipat.

Adrenalin akan memperkecil kontraksi otot empedu, menyempitkan pembuluh darah perifer, meluaskan pembuluh darah koroner, meningkatkan tekanan darah arterial, serta menambah volume darah ke jantung dan jumlah detak jantung.

Adrenalin menambah pembentukan kolesterol dari LDL. Berbagai hal tersebut dapat meningkatkan risiko penyakit pembuluh darah, jantung, dan otak sehingga timbul gangguan jantung koroner, stroke, dan lain-lain.

Penelitian endokrinologi menunjukkan, pola makan saat puasa yang bersifat rotatif menjadi beban dalam akumulasi makanan di dalam tubuh.

Keadaan ini mengakibatkan pengeluaran hormon sistem pencernaan, seperti amilase, pankrease, dan insulin, dalam jumlah besar sehingga bisa meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan tubuh.

Dengan demikian, puasa bermanfaat menurunkan kadar gula darah dan kolesterol serta mengendalikan tekanan darah.

Saat seseorang melaksanakan puasa selama sebulan, plastisitas, neurogenesis, dan fungsional kompensasi jaringan otak akan diperbarui. Dengan demikian, akan terbentuk networking atau rute jaringan baru di dalam otak, yang akan membentuk pribadi dan manusia yang berpikiran sempurna.

Pada hakikatnya puasa bermanfaat meningkatkan daya ingat, mengurangi kematian sel-sel saraf, bahkan dalam tingkatan tertentu bisa meregenerasi sel-sel saraf otak. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahasiswi Berburu Berkah Ramadan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler