Puja Kessuma: Perlu Membentuk Badan Sinkronisasi Kebijakan

Rabu, 04 Oktober 2017 – 12:58 WIB
Ketua Umum Putra Jawa Kelahiran Sumatera, Sulawesi dan Maluku (Puja Kessuma) Suhendra Hadi Kuntono. Foto: Dokpri

jpnn.com, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan hampir 15.000 permasalahan di pemerintah pusat, pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketua Umum Putra Jawa Kelahiran Sumatera,Sulawesi dan Maluku (Puja Kessuma) Suhendra Hadi Kuntono menengarai, salah satu penyebab banyaknya temuan BPK itu karena kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah banyak yang tidak sinkron.

“Sebab itu, Presiden Jokowi perlu membentuk Badan Sinkronisasi Kebijakan Pusat dan Daerah, agar polemik tak terjadi lagi. Kalau gaduh terus, kapan mau membangun?” ungkap Suhendra dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (3/10).

BACA JUGA: Polemik PKI, Senjata dan Setnov Berakhir

Pembentukan badan terebut, menurut Suhendra, juga sebagai tindak lanjut dari kebijakan moratorium peraturan daerah (perda). “Ini sudah mendesak,” jelas Suhendra yang juga Ketua Kelompok Kerja Perancangan Formulasi Peraturan Daerah Nasional 2016 bentukan Kementerian Hukum dan HAM yang merupakan inisiatif Puja Kessuma menyikapi moratorium dari Presiden Joko Widodo terkait ribuan perda bermasalah.

Beberapa saat sebelumnya, BPK menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHSP) I-2017 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam laporan tersebut ditemukan hampir 15.000 temuan permasalahan senilai puluhan triliun rupiah di pemerintah pusat, pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

BACA JUGA: Suhendra: Kabinet Jokowi Alami Deklinasi

“Kalau memang ada temuan yang harus ditindaklanjuti secara hukum, aparat penegak hukum harus bergerak,” cetus Suhendra.

Suhendra minta aparat penegak hukum bekerja sama dengan Inspektorat Jenderal (Itjen) kementerian masing-masing melakukan pemilahan, meliputi dugaan penyimpangan administratif yang bisa ditindaklanjuti secara administratif, baik oleh pemerintah pusat, pemda atau BUMN, dan penyimpangan yang terindikasi korupsi untuk ditindaklanjuti secara hukum, baik oleh Polri, Kejaksaan Agung, atau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

BACA JUGA: Suhendra Beri Solusi Atas Polemik Kebijakan Menteri Susi

“Untuk yang administratif diserahkan ke Itjen masing-masing. Untuk yang terindikasi korupsi, polisi, jaksa atau KPK harus bergerak,” tegasnya.

Di sisi lain, Suhendra mengusulkan agar Itjen di kementerian atau lembaga langsung bertanggung jawab ke Presiden.

“Ini agar kinerja Itjen lebih independen, tidak ewuh-pakewuh (risih) kepada menteri,” cetus mantan Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Indonesia-Vietnam ini.

Saat ini Itjen berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Padahal, tugasnya melakukan pengawasan internal di lingkungan kementerian. Posisi tersebut menjadikan Itjen lebih takut kepada menteri. Akibatnya, terlalu banyak permasalahan yang ditemukan BPK.

“Dengan bertanggung jawab langsung ke Presiden, Itjen bisa menjalankan tugasnya mengawasi kementerian dan lembaga dengan baik, berani dan independen,” tegas pria low profile itu.

Hl itu dikatakan Suhendra sembari merujuk contoh kasus suap yang melibatkan Irjen Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi kepada salah satu auditor BPK, yang menunjukkan Itjen lebih takut kepada menteri.

IHSP I-2017 merupakan ringkasan dari 687 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diselesaikan BPK selama semester I-2017 yang terdiri 645 LHP keuangan, 9 LHP kinerja dan 33 LHP dengan tujuan tertentu (DTT). Sementara pihak yang diperiksa terdiri dari 113 lembaga pemerintah pusat, 537 pemda, dan 37 BUMN dan badan lainnya.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bu Susi, Setop Sakiti Hati Nelayan


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler