jpnn.com, JAKARTA - Ombudsman RI menyatakan puluhan sertifikat tanah yaitu hak milik (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang diterbitkan Kantor Pertanahan Jakarta Utara melanggar administrasi.
Penerbitan sertifikat kepada PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Raya Griyanusa di Pulau Pari, Kepulauan Seribu diketahui setelah Ombudsman memeriksa dokumen, berita acara aktivitas dan sejumlah prosedur lainnya.
BACA JUGA: PAN: Cuma 4,2 Juta Sertifikat Tanah Dibagikan, Bukan 5 Juta
"Ombudsman melihat ada beberapa hal yang kami sebut sebagai malaadministrasi," kata Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih di kantornya di kawasan Jakarta Selatan, Senin (9/4).
Alamsyah mengatakan, Ombudsman menemukan malaadministrasi dalam penerbitan 62 SHM dan 14 SHGB di sana.
BACA JUGA: Jokowi: Coba Diangkat Tinggi, Tidak Ada Pengibulan
Selain Kantor Pertahanan Kota Jakarta Utara, Ombudsman juga telah memeriksa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Pemprov DKI Jakarta.
Selain itu, Ombudsman melakukan investigasi lapangan di Pulau Pari sebanyak 2 kali, meminta keterangan ahli, dan melakukan telaah dokumen yang terkait dengan laporan.
BACA JUGA: Jokowi Tegaskan Pembagian Sertifikat Tanah Bukan Pengibulan
Plt Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Dominikus Dalu menyampaikan, penerbitan SHM dan SHGB itu melanggar beberapa ketentuan perundang-undangan.
Pertama, penerbitan 62 SHM di Pulau Pari tidak mengikuti prosedur yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 Ayat 1, 2, 3, dan 4 serta Pasal 26 Ayat 1, 2, dan 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Proses pengukuran tanah, kata Dominikus, terkesen dimonopoli karena tidak menginformasikannya kepada warga Pulau Pari atau yang berbatasan dengan bidang-bidang tanah.
"Kedua, hasil pengukuran atau daftar peta bidang tanah tidak diumumkan sehingga warga Pulau Pari tidak memiliki kesempatan menyatakan keberatan," kata Dominikus.
Selain itu, Ombudsman menilai penerbitan SHM menyebabkan terjadinya monopoli kepemilikan hak atas tanah dan peralihan fungsi lahan di Pulau Pari yang bertentangan dengan Pasal 6, 7, dan 13 Ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Sementara untuk penerbitan 14 SHGB, Ombudsman menilai Kantor Pertanahan Jakarta Utara melanggar UU Nomor 5 Tahun 1960, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Penerbitan 14 SHGB di Pulau Pari mengabaikan fungsi sosial tanah, adanya monopoli kepemilikan hak, mengabaikan kepentingan umum dalam pemanfaatan ruang, melanggar RTRW, serta melanggar asas-asas pemerintahan yang baik," ucapnya.
Selain itu, Dominikus menilai Kantor Pertanahan Jakarta Utara tidak melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap pemegang SHGB atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Raya Griyanusa sehingga pemegang SHGB sejak 2015 tidak melakukan aktivitas di atas tanah atau membiarkan tanah itu telantar.
Oleh karena itu, Dominikus meminta Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta agar melakukan evaluasi.
Terutama terkait proses penerbitan 62 SHM dan 14 SHGB di Pulau Pari sebagai bentuk akuntabilitas BPN kepada masyarakat secara komprehensif.
Selanjutnya membuat keputusan administratif terkait keabsahan proses pendaftaran tanah yang terletak di Pulau Pari terkait sertifikat tanah di Pulau Pari sebagai bentuk pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik.
"Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN RI dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta agar melakukan audit internal terhadap Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara terkait dengan proses penerbitan 62 SHM dan 14 SHGB di Pulau Pari," kata Dominikus.
Dia juga meminta Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta agar melakukan evaluasi terkait dengan SK pemberian SHGB atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Raya Griyanusa di Pulau Pari.
Dominikus juga mendesak Pemprov DKI Jakarta agar mengembalikan peruntukan Pulau Pari sebagai kawasan permukiman penduduk atau nelayan sesuai dengan ketentuan Pasal 171 Ayat 2 Huruf e Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 sebagai upaya perlindungan terhadap pulau-pulau kecil, nelayan, lingkungan, dan ekosistem laut.
"Apabila Pemprov DKI Jakarta mengembangkan Pulau Pari sebagai salah satu kawasan wisata di Kepulauan Seribu, pembangunan pariwisata tersebut agar mengintegrasikan kepentingan warga Pulau Pari," tegas Dominikus. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terbitkan 82 SKT Palsu, Mantan Kepala BPN Kotim Ditahan
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga