JAKARTA - Biaya untuk mendapatkan pendidikan tinggi di Indonesia semakin mahal dari tahun ke tahun. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebut, pemicunya adalah sikap pemerintah yang memandang pendidikan sebagai komoditas. Terbukti, dalam UU APBN setiap tahun, pemerintah selalu memasang target perolehan pemasukan dari pajak pendidikan.
"Ternyata, pemerintah tidak mau rugi, selalu ingin mencari untung, dengan cara memasang tarif bagi pendidikan," kata Koordinator FITRA Uchok Sky Khadafi, Senin (31/12).
Dia mencontohkan, dalam APBN tahun 2013, pemerintah menargetkan pemasukan pajak dari badan layanan umum (BLU) pendidikan Rp 11,5 triliun. Tidak hanya itu, pemerintah juga mematok pendapatan dari uang pendidikan Rp 2,4 triliun.
Pemasukan Rp 2,4 triliun itu, misalnya, bersumber dari pendapatan uang ujian masuk, kenaikan tingkat, dan ujian akhir pendidikan Rp 40,6 miliar; pendapatan uang ujian untuk menjalankan praktik Rp 46,1 miliar; dan pendapatan pendidikan lainnya Rp 64,1 miliar.
Berdasar data FITRA, target tersebut terus naik setiap tahun. Pada APBN 2011, pendapatan dari pajak pendidikan ditargetkan Rp 3,6 triliun dan pajak BLU pendidikan Rp 7,7 triliun. Sementara itu, pada APBN 2012, target pendapatan dari pajak pendidikan Rp 2,3 triliun dan pajak BLU pendidikan Rp 9,5 triliun. "Bisa dipastikan, hampir seluruh target itu ditujukan kepada institusi perguruan tinggi," kata Uchok.
Adanya target penerimaan pajak dari pendidikan itu, menurut Uchok, menjadi jawaban mengapa biaya pendidikan tinggi di Indonesia terus meningkat. Bila praktik anggaran yang ujungnya membebani peserta didik, terutama mahasiswa, tersebut tidak dihapuskan, Uchok khawatir hilangnya investasi sosial dari orang-orang lulusan perguruan tinggi. "Semua keahlian lulusan perguruan tinggi akan diukur dengan duit. Tidak ada duit, berarti tidak bisa membantu siapa pun," ujarnya.
Selain itu, adanya pajak pendidikan membuat pendidikan tinggi menjadi eksklusif. "Yang tidak punya duit pasti tidak bisa masuk ke perguruan tinggi," kata Uchok.
Para lulusan perguruan tinggi, imbuh dia, juga akan menjadi sangat materialistis. Mereka yang menjadi birokrat atau PNS akan berorientasi mencari duit daripada mengabdi kepada negara atau menjadi pelayan masyarakat. "Maka, PNS ke depan itu, biarpun digaji besar, tetap korupsi sebagai dampak mahalnya pajak pendidikan yang diterapkan pemerintah," cetus Uchok.
FITRA meminta DPR menekan pemerintah agar menghapuskan berbagai pajak pendidikan. "Kalau kita tidak mau sampai kehilangan generasi muda yang pintar dan unggul, DPR seharusnya berjuang menghapus pajak pendidikan melalui APBN Perubahan 2013," tegasnya. (pri/c6/agm)
"Ternyata, pemerintah tidak mau rugi, selalu ingin mencari untung, dengan cara memasang tarif bagi pendidikan," kata Koordinator FITRA Uchok Sky Khadafi, Senin (31/12).
Dia mencontohkan, dalam APBN tahun 2013, pemerintah menargetkan pemasukan pajak dari badan layanan umum (BLU) pendidikan Rp 11,5 triliun. Tidak hanya itu, pemerintah juga mematok pendapatan dari uang pendidikan Rp 2,4 triliun.
Pemasukan Rp 2,4 triliun itu, misalnya, bersumber dari pendapatan uang ujian masuk, kenaikan tingkat, dan ujian akhir pendidikan Rp 40,6 miliar; pendapatan uang ujian untuk menjalankan praktik Rp 46,1 miliar; dan pendapatan pendidikan lainnya Rp 64,1 miliar.
Berdasar data FITRA, target tersebut terus naik setiap tahun. Pada APBN 2011, pendapatan dari pajak pendidikan ditargetkan Rp 3,6 triliun dan pajak BLU pendidikan Rp 7,7 triliun. Sementara itu, pada APBN 2012, target pendapatan dari pajak pendidikan Rp 2,3 triliun dan pajak BLU pendidikan Rp 9,5 triliun. "Bisa dipastikan, hampir seluruh target itu ditujukan kepada institusi perguruan tinggi," kata Uchok.
Adanya target penerimaan pajak dari pendidikan itu, menurut Uchok, menjadi jawaban mengapa biaya pendidikan tinggi di Indonesia terus meningkat. Bila praktik anggaran yang ujungnya membebani peserta didik, terutama mahasiswa, tersebut tidak dihapuskan, Uchok khawatir hilangnya investasi sosial dari orang-orang lulusan perguruan tinggi. "Semua keahlian lulusan perguruan tinggi akan diukur dengan duit. Tidak ada duit, berarti tidak bisa membantu siapa pun," ujarnya.
Selain itu, adanya pajak pendidikan membuat pendidikan tinggi menjadi eksklusif. "Yang tidak punya duit pasti tidak bisa masuk ke perguruan tinggi," kata Uchok.
Para lulusan perguruan tinggi, imbuh dia, juga akan menjadi sangat materialistis. Mereka yang menjadi birokrat atau PNS akan berorientasi mencari duit daripada mengabdi kepada negara atau menjadi pelayan masyarakat. "Maka, PNS ke depan itu, biarpun digaji besar, tetap korupsi sebagai dampak mahalnya pajak pendidikan yang diterapkan pemerintah," cetus Uchok.
FITRA meminta DPR menekan pemerintah agar menghapuskan berbagai pajak pendidikan. "Kalau kita tidak mau sampai kehilangan generasi muda yang pintar dan unggul, DPR seharusnya berjuang menghapus pajak pendidikan melalui APBN Perubahan 2013," tegasnya. (pri/c6/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Program Kemendikbud Dapat Nilai Merah
Redaktur : Tim Redaksi