----------------------
BAYU PUTRA, Banten
----------------------
Sedikit beruban, ingatan yang segar, dan masih tegap berjalan. Itulah kenangan keluarga Maemunah terhadap sang nenek sebelum meninggal. Maemunah membuat para dokter dan petugas Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyensusnya tiga tahun lalu tercengang.
Penampilannya seperti nenek 80 tahun. Tidak bungkuk seperti beberapa orang sepuh. Kesehatannya pun masih terjaga dengan baik hingga dia meninggal pada 9 Mei 2012. Maemunah meninggal tiga hari setelah berulang tahun ke-145 pada 6 Mei 2012.
Dia tercatat di Dispendukcapil Kabupaten Pandeglang sebagai warga kelahiran 6 Mei 1867. Tanggal lahir itu tercantum di KTP yang diterbitkan pada 2007. Dari segi administrasi, dialah manusia tertua di Indonesia yang masih hidup hingga Mei 2012.
Usia Maemunah kemudian diverifikasi BPS Pandeglang saat sensus penduduk 2010. Pihak BPS meminta bantuan dokter untuk memverifikasi usia Maemunah. Hasilnya, mereka meyakini bahwa usia sang nenek memang benar 143 tahun kala itu.
Bukti lain bahwa Maemunah berumur panjang adalah ingatannya seputar peristiwa letusan Gunung Krakatau pada 1883. "Saat itu nenek berusia 16 atau 17 tahun," terang Enung Nuraini, cucu Maemunah dari anak terakhir.
Maemunah pernah bercerita bahwa Krakatau meletus selepas isya atau sekitar pukul 20.00. Kala itu Maemunah yang sedang bersantai di beranda rumah merasakan gempa yang hebat.
"Gunung di laut ngabeledug (meletus)," begitulah kabar yang didapatkan Maemunah tidak lama setelah letusan. Sesaat seusai gempa, terjadi hujan abu bercampur pasir yang berlangsung terus-menerus selama seminggu.
Setelah hujan abu dan pasir mereda, giliran hujan es melanda kawasan sekitar kediaman Maemunah di Kampung Jaha Girang, Desa Kadudodol, Cimanuk. Langit gelap gulita, tidak menyisakan celah untuk matahari bersinar karena tertutup awan hasil letusan dahsyat Krakatau.
Perempuan yang memiliki sepuluh anak itu juga masih ingat masa pembangunan rel kereta api di Rangkasbitung pada akhir 1800-an. Sebelum rel tersebut dibangun, dia biasa bepergian ke Jakarta dengan berjalan kaki. Tujuannya adalah kawasan yang kini menjadi Pasar Tanah Abang.
Fenomena lain yang sempat membuat dokter geleng-geleng kepala adalah fakta seputar kesehatan Maemunah. Anak bungsunya, Sanawati, lahir pada 1952. Artinya, Maemunah melahirkan saat berusia 85 tahun!
Meski dianggap mustahil, nyatanya dokter telah membuktikan sendiri bahwa kondisi rahim Maemunah sangat baik. Dokter juga menyatakan bahwa Maemunah masih dimungkinkan untuk mengandung lagi setelah melahirkan anak kesepuluh. Namun, takdir berkata lain. Sang suami Sajamin meninggal pada usia 90 tahun.
Enung mengungkapkan, pada 2004 Maemunah mengalami gangguan pencernaan dan harus dirawat di RSUD Pandeglang. Itu merupakan kali pertama Maemunah dirawat di RS. Sebelumnya dia tidak pernah mengalami sakit yang membuatnya harus dirawat di luar rumah.
Beberapa saat seusai pemeriksaan, dokter memberi tahu Enung bahwa neneknya sangat beruntung bisa hidup lebih dari 100 tahun. Tentu saja Enung heran. "Kami saat itu belum bilang ke pihak rumah sakit bahwa usia nenek lebih dari 100 tahun," ucapnya.
Penasaran, Enung pun bertanya berapa usia Maemunah menurut sang dokter. Dokter mengatakan, berdasar sampel darah, diperkirakan usia Maemunah sudah lebih dari 125 tahun. Darahnya pun dinyatakan bersih, tidak terkontaminasi racun sedikit pun.
Karena itu, tidak heran lima anak dan beberapa cucu Maemunah meninggal terlebih dahulu. Saat ini hanya lima putra Maemunah yang masih hidup. Yakni; Saripin, anak kelima; Agus, anak keenam; Darwati, anak ketujuh; Samarudin, anak kesembilan; dan Sanawati, anak kesepuluh.
Dari putra pertamanya, Sarman, yang meninggal pada 1984 di usia 85 tahun, Maemunah kini telah memiliki generasi ketujuh. "Kalau ditotal, semua anak dan cucunya mungkin lebih dari 250 orang," lanjut Enung.
Apa yang membuat Maemunah bisa hidup begitu lama? Kuncinya ada pada pola hidup. Semasa hidup Maemunah selalu mengonsumsi makanan yang direbus atau dibakar. Kalaupun makan makanan yang digoreng, dia membuat minyaknya sendiri dari kelapa. Itu pun jarang.
Semua makanannya selalu sehat. Makanan-makanan itu berasal dari kebun atau hutan di sekitar lingkungannya. Meskipun, sebenarnya kondisi tersebut terjadi gara-gara kemiskinan yang dialami Maemunah sejak kecil akibat kolonialisme Belanda.
Dalam hal bumbu masakan pun, Maemunah sangat selektif. Dia sama sekali tidak mau makanannya dibubuhi bumbu masak instan, apa pun bentuk dan mereknya. Dia memilih menggunakan bumbu-bumbu alami. Cara memasaknya pun tampak asal-asalan. Namun, setelah hasilnya dicicip, terasa enak.
Satu hal yang unik pada pola makannya adalah durian. Sejak dulu hingga menjelang kematiannya, Maemunah sangat gemar menyantap durian. Di usia senja, dia mampu melahap satu durian montong yang besar sendirian. Karena menyantap durian tidak berefek apa pun pada tubuh Maemunah, akhirnya anak dan cucunya membiarkan Maemunah menikmati buah kegemarannya itu sering-sering.
Beberapa tahun terakhir Maemunah juga gemar mengonsumsi permen lolipop. Sekali makan, dia bisa menghabiskan lima permen. Satu pak permen pun dia habiskan dalam dua hari. Dia juga suka minum susu.
Selain makan makanan sehat, Maemunah selalu menjaga kondisi psikisnya dengan baik. "Nenek tidak pernah berpikiran buruk terhadap siapa pun selama hidupnya. Beliau juga tidak pernah marah," tutur perempuan 35 tahun itu.
Aktivitas Maemunah setiap hari diawali bangun sekitar pukul 03.30 untuk salat malam. Dia tidak tidur hingga menjelang subuh. Seusai salat Subuh, dia pergi ke sungai untuk mandi dan mencuci sebelum ada kamar mandi di kediamannya. Siang dia merawat kebunnya, lalu bersantai di dalam rumah atau beranda.
Maemunah juga tidur lebih awal. Dia biasa tidur selepas isya. Alhasil, kondisi fisik dan mentalnya selalu terkontrol. Dalam hal spiritual, Maemunah termasuk orang yang rajin berzikir dan berdoa. Setiap kali hendak melangkahkan kaki ke luar rumah, dia selalu membaca syahadat dan berdoa.
Setiap kali cucu-cucunya berkumpul, dia selalu mendoakan mereka. Satu doa yang sering dipinta Maemunah kepada Tuhan adalah usia yang panjang agar bisa menyaksikan cucu-cucunya menikah dan berbahagia.
Tidak banyak firasat menjelang meninggalnya Maemunah. Hanya, satu bulan sebelum meninggal dia lebih sering berdiam diri di rumah. "Nenek bilang suami dan orang tuanya datang menjemput. Itu saja yang dikatakan berulang-ulang," kenang Enung.
Menjelang kematian Maemunah, sejumlah anak, cucu, dan cicitnya datang menjenguk. Meski tubuh Maemunah sudah lemah, rupanya ingatannya masih sangat prima. Dia memanggil nama cucu dan cicitnya tanpa salah satu pun. Selain itu, hanya sebagian rambutnya yang mulai beruban. "Pada 2002, saat saya nikah, rambut nenek masih hitam, tidak ada uban," katanya.
Ada satu hal yang dipesan sang nenek kepada Enung. Yakni, Enung jangan sampai lepas dari air wudu. Hal itu mengindikasikan Maemunah ingin anak dan cucunya senantiasa rajin beribadah. (*/c11/ca)
BAYU PUTRA, Banten
----------------------
Sedikit beruban, ingatan yang segar, dan masih tegap berjalan. Itulah kenangan keluarga Maemunah terhadap sang nenek sebelum meninggal. Maemunah membuat para dokter dan petugas Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyensusnya tiga tahun lalu tercengang.
Penampilannya seperti nenek 80 tahun. Tidak bungkuk seperti beberapa orang sepuh. Kesehatannya pun masih terjaga dengan baik hingga dia meninggal pada 9 Mei 2012. Maemunah meninggal tiga hari setelah berulang tahun ke-145 pada 6 Mei 2012.
Dia tercatat di Dispendukcapil Kabupaten Pandeglang sebagai warga kelahiran 6 Mei 1867. Tanggal lahir itu tercantum di KTP yang diterbitkan pada 2007. Dari segi administrasi, dialah manusia tertua di Indonesia yang masih hidup hingga Mei 2012.
Usia Maemunah kemudian diverifikasi BPS Pandeglang saat sensus penduduk 2010. Pihak BPS meminta bantuan dokter untuk memverifikasi usia Maemunah. Hasilnya, mereka meyakini bahwa usia sang nenek memang benar 143 tahun kala itu.
Bukti lain bahwa Maemunah berumur panjang adalah ingatannya seputar peristiwa letusan Gunung Krakatau pada 1883. "Saat itu nenek berusia 16 atau 17 tahun," terang Enung Nuraini, cucu Maemunah dari anak terakhir.
Maemunah pernah bercerita bahwa Krakatau meletus selepas isya atau sekitar pukul 20.00. Kala itu Maemunah yang sedang bersantai di beranda rumah merasakan gempa yang hebat.
"Gunung di laut ngabeledug (meletus)," begitulah kabar yang didapatkan Maemunah tidak lama setelah letusan. Sesaat seusai gempa, terjadi hujan abu bercampur pasir yang berlangsung terus-menerus selama seminggu.
Setelah hujan abu dan pasir mereda, giliran hujan es melanda kawasan sekitar kediaman Maemunah di Kampung Jaha Girang, Desa Kadudodol, Cimanuk. Langit gelap gulita, tidak menyisakan celah untuk matahari bersinar karena tertutup awan hasil letusan dahsyat Krakatau.
Perempuan yang memiliki sepuluh anak itu juga masih ingat masa pembangunan rel kereta api di Rangkasbitung pada akhir 1800-an. Sebelum rel tersebut dibangun, dia biasa bepergian ke Jakarta dengan berjalan kaki. Tujuannya adalah kawasan yang kini menjadi Pasar Tanah Abang.
Fenomena lain yang sempat membuat dokter geleng-geleng kepala adalah fakta seputar kesehatan Maemunah. Anak bungsunya, Sanawati, lahir pada 1952. Artinya, Maemunah melahirkan saat berusia 85 tahun!
Meski dianggap mustahil, nyatanya dokter telah membuktikan sendiri bahwa kondisi rahim Maemunah sangat baik. Dokter juga menyatakan bahwa Maemunah masih dimungkinkan untuk mengandung lagi setelah melahirkan anak kesepuluh. Namun, takdir berkata lain. Sang suami Sajamin meninggal pada usia 90 tahun.
Enung mengungkapkan, pada 2004 Maemunah mengalami gangguan pencernaan dan harus dirawat di RSUD Pandeglang. Itu merupakan kali pertama Maemunah dirawat di RS. Sebelumnya dia tidak pernah mengalami sakit yang membuatnya harus dirawat di luar rumah.
Beberapa saat seusai pemeriksaan, dokter memberi tahu Enung bahwa neneknya sangat beruntung bisa hidup lebih dari 100 tahun. Tentu saja Enung heran. "Kami saat itu belum bilang ke pihak rumah sakit bahwa usia nenek lebih dari 100 tahun," ucapnya.
Penasaran, Enung pun bertanya berapa usia Maemunah menurut sang dokter. Dokter mengatakan, berdasar sampel darah, diperkirakan usia Maemunah sudah lebih dari 125 tahun. Darahnya pun dinyatakan bersih, tidak terkontaminasi racun sedikit pun.
Karena itu, tidak heran lima anak dan beberapa cucu Maemunah meninggal terlebih dahulu. Saat ini hanya lima putra Maemunah yang masih hidup. Yakni; Saripin, anak kelima; Agus, anak keenam; Darwati, anak ketujuh; Samarudin, anak kesembilan; dan Sanawati, anak kesepuluh.
Dari putra pertamanya, Sarman, yang meninggal pada 1984 di usia 85 tahun, Maemunah kini telah memiliki generasi ketujuh. "Kalau ditotal, semua anak dan cucunya mungkin lebih dari 250 orang," lanjut Enung.
Apa yang membuat Maemunah bisa hidup begitu lama? Kuncinya ada pada pola hidup. Semasa hidup Maemunah selalu mengonsumsi makanan yang direbus atau dibakar. Kalaupun makan makanan yang digoreng, dia membuat minyaknya sendiri dari kelapa. Itu pun jarang.
Semua makanannya selalu sehat. Makanan-makanan itu berasal dari kebun atau hutan di sekitar lingkungannya. Meskipun, sebenarnya kondisi tersebut terjadi gara-gara kemiskinan yang dialami Maemunah sejak kecil akibat kolonialisme Belanda.
Dalam hal bumbu masakan pun, Maemunah sangat selektif. Dia sama sekali tidak mau makanannya dibubuhi bumbu masak instan, apa pun bentuk dan mereknya. Dia memilih menggunakan bumbu-bumbu alami. Cara memasaknya pun tampak asal-asalan. Namun, setelah hasilnya dicicip, terasa enak.
Satu hal yang unik pada pola makannya adalah durian. Sejak dulu hingga menjelang kematiannya, Maemunah sangat gemar menyantap durian. Di usia senja, dia mampu melahap satu durian montong yang besar sendirian. Karena menyantap durian tidak berefek apa pun pada tubuh Maemunah, akhirnya anak dan cucunya membiarkan Maemunah menikmati buah kegemarannya itu sering-sering.
Beberapa tahun terakhir Maemunah juga gemar mengonsumsi permen lolipop. Sekali makan, dia bisa menghabiskan lima permen. Satu pak permen pun dia habiskan dalam dua hari. Dia juga suka minum susu.
Selain makan makanan sehat, Maemunah selalu menjaga kondisi psikisnya dengan baik. "Nenek tidak pernah berpikiran buruk terhadap siapa pun selama hidupnya. Beliau juga tidak pernah marah," tutur perempuan 35 tahun itu.
Aktivitas Maemunah setiap hari diawali bangun sekitar pukul 03.30 untuk salat malam. Dia tidak tidur hingga menjelang subuh. Seusai salat Subuh, dia pergi ke sungai untuk mandi dan mencuci sebelum ada kamar mandi di kediamannya. Siang dia merawat kebunnya, lalu bersantai di dalam rumah atau beranda.
Maemunah juga tidur lebih awal. Dia biasa tidur selepas isya. Alhasil, kondisi fisik dan mentalnya selalu terkontrol. Dalam hal spiritual, Maemunah termasuk orang yang rajin berzikir dan berdoa. Setiap kali hendak melangkahkan kaki ke luar rumah, dia selalu membaca syahadat dan berdoa.
Setiap kali cucu-cucunya berkumpul, dia selalu mendoakan mereka. Satu doa yang sering dipinta Maemunah kepada Tuhan adalah usia yang panjang agar bisa menyaksikan cucu-cucunya menikah dan berbahagia.
Tidak banyak firasat menjelang meninggalnya Maemunah. Hanya, satu bulan sebelum meninggal dia lebih sering berdiam diri di rumah. "Nenek bilang suami dan orang tuanya datang menjemput. Itu saja yang dikatakan berulang-ulang," kenang Enung.
Menjelang kematian Maemunah, sejumlah anak, cucu, dan cicitnya datang menjenguk. Meski tubuh Maemunah sudah lemah, rupanya ingatannya masih sangat prima. Dia memanggil nama cucu dan cicitnya tanpa salah satu pun. Selain itu, hanya sebagian rambutnya yang mulai beruban. "Pada 2002, saat saya nikah, rambut nenek masih hitam, tidak ada uban," katanya.
Ada satu hal yang dipesan sang nenek kepada Enung. Yakni, Enung jangan sampai lepas dari air wudu. Hal itu mengindikasikan Maemunah ingin anak dan cucunya senantiasa rajin beribadah. (*/c11/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Naida Hosan, Tentara yang Dilecehkan karena Namanya Bernuansa Muslim
Redaktur : Tim Redaksi