SLAWI - Pupuk oplosan yang marak di Kabupaten Tegal akhir-akhir ini sangat merugikan para petani. Sebab pupuk bersubsidi yang mestinya untuk petani tapi sekarang ini justru dioplos kemudian dijual ke industri. Pengoplos dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
"Hal ini bisa memicu kelangkaan pupuk di wilayah Kabupaten Tegal. Untuk itu, pengoplos (pelaku) harus segera ditangkap dan diberi sanksi hukum yang berlaku," kata Ketua Paguyuban Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kabupaten Tegal, Abdul Wahid, Senin (8/4).
Dia menerangkan, pupuk oplosan itu tentunya menggunakan bahan kimia. Bahan itu digunakan untuk merubah warna pupuk urea bersubsidi yang berwarna ping menjadi putih yang merupakan tanda pupuk non subsidi. Dari situlah, pengoplos akan mendapatkan keuntungan besar dari penjualan pupuk tersebut. Sebab, mereka membeli pupuk subsidi hanya dengan harga Rp 95.000/ kantong atau 1.800/ kg. Kemudian setelah menjadi pupuk non subsidi, pelaku dapat menjualnya ke industri dengan harga Rp 120.000/ kantong atau sekitar Rp 2.600/kg. “Saya tidak tahu adanya pupuk oplosan, tapi saya minta distributor dan pengecer resmi untuk menjalankan mekanisme distribusi secara baik,” ujarnya.
Dirinya tak menampik, pupuk oplosan sangat merugikan para petani. Karena mengurangi jatah alokasi yang seharusnya untuk petani. Adapun, alokasi pupuk itu sendiri, sebenarnya sudah ditetapkan melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) petani. "Mafia pupuk harus segera diberantas. Kasihan petani yang terkena imbasnya," kata Wahid yang mengaku sekarang ini masih mudah mendapatkan pupuk bersubsidi di wilayah setempat.
Lebih jauh dia menjelaskan, pada musim tanam pertama di tahun ini, banyak petani yang menanam bawang merah. Padahal, alokasi pupuk bersubsidi perhitungannya untuk tanaman padi. Setiap 1 hektare lahan padi membutuhkan pupuk urea sekitar 3 kuintal, sedangkan tanaman bawang merah seluas 1 hektare hanya membutuhkan 30 kg. ”Jadi, tidak semua pupuk urea bersubsidi diserap petani. Meski ada yang dioplos, tapi perbandingannya masih banyak pupuk yang tidak terserap petani,” jelasnya.
Dengan begitu, ia mengaku bahwa petani saat ini belum merasakan adanya kelangkaan pupuk. Namun, jika para petani menanam padi semuanya, maka akan terjadi kelangkaan. Pihaknya meminta kepada dinas terkait untuk melakukan pengawasan ketat terhadap penjualan pupuk bersubsidi. Selain itu, dibutuhkan agro ekological zone (AEZ). Artinya, setiap wilayah memproduksi satu produk pertanian, sehingga kebutuhan pupuk secara riil bisa terlihat. ”Kelebihan pupuk, sangat berpotensi untuk disalahgunakan,” ujarnya. (yer)
"Hal ini bisa memicu kelangkaan pupuk di wilayah Kabupaten Tegal. Untuk itu, pengoplos (pelaku) harus segera ditangkap dan diberi sanksi hukum yang berlaku," kata Ketua Paguyuban Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kabupaten Tegal, Abdul Wahid, Senin (8/4).
Dia menerangkan, pupuk oplosan itu tentunya menggunakan bahan kimia. Bahan itu digunakan untuk merubah warna pupuk urea bersubsidi yang berwarna ping menjadi putih yang merupakan tanda pupuk non subsidi. Dari situlah, pengoplos akan mendapatkan keuntungan besar dari penjualan pupuk tersebut. Sebab, mereka membeli pupuk subsidi hanya dengan harga Rp 95.000/ kantong atau 1.800/ kg. Kemudian setelah menjadi pupuk non subsidi, pelaku dapat menjualnya ke industri dengan harga Rp 120.000/ kantong atau sekitar Rp 2.600/kg. “Saya tidak tahu adanya pupuk oplosan, tapi saya minta distributor dan pengecer resmi untuk menjalankan mekanisme distribusi secara baik,” ujarnya.
Dirinya tak menampik, pupuk oplosan sangat merugikan para petani. Karena mengurangi jatah alokasi yang seharusnya untuk petani. Adapun, alokasi pupuk itu sendiri, sebenarnya sudah ditetapkan melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) petani. "Mafia pupuk harus segera diberantas. Kasihan petani yang terkena imbasnya," kata Wahid yang mengaku sekarang ini masih mudah mendapatkan pupuk bersubsidi di wilayah setempat.
Lebih jauh dia menjelaskan, pada musim tanam pertama di tahun ini, banyak petani yang menanam bawang merah. Padahal, alokasi pupuk bersubsidi perhitungannya untuk tanaman padi. Setiap 1 hektare lahan padi membutuhkan pupuk urea sekitar 3 kuintal, sedangkan tanaman bawang merah seluas 1 hektare hanya membutuhkan 30 kg. ”Jadi, tidak semua pupuk urea bersubsidi diserap petani. Meski ada yang dioplos, tapi perbandingannya masih banyak pupuk yang tidak terserap petani,” jelasnya.
Dengan begitu, ia mengaku bahwa petani saat ini belum merasakan adanya kelangkaan pupuk. Namun, jika para petani menanam padi semuanya, maka akan terjadi kelangkaan. Pihaknya meminta kepada dinas terkait untuk melakukan pengawasan ketat terhadap penjualan pupuk bersubsidi. Selain itu, dibutuhkan agro ekological zone (AEZ). Artinya, setiap wilayah memproduksi satu produk pertanian, sehingga kebutuhan pupuk secara riil bisa terlihat. ”Kelebihan pupuk, sangat berpotensi untuk disalahgunakan,” ujarnya. (yer)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pencurian Alat Rekam E-KTP Marak, Mendagri Geram
Redaktur : Tim Redaksi