PUSAKA Sebut Kewenangan Tambahan dalam RUU Polri Perlu Diimbangi Pengawasan Ketat

Senin, 10 Juni 2024 – 09:09 WIB
Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Analisa Keamanan Indonesia (PUSAKA) Adhe Nuansa Wibisono Ph.D menilai pelaksanaan fungsi Polri masih menghadapi banyak hambatan baik dari sisi penegakan hukum, aspek transparansi, dan akuntabilitas kelembagaan. Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Analisa Keamanan Indonesia (PUSAKA) Adhe Nuansa Wibisono Ph.D menilai pelaksanaan fungsi Polri masih menghadapi banyak hambatan baik dari sisi penegakan hukum, aspek transparansi, dan akuntabilitas kelembagaan.

“Ketentuan UU Kepolisian yang ada belum secara optimal memperbaiki kinerja Polri dalam penyesuaian dengan kondisi ketatanegaraan, pemerintahan khususnya juga terhadap produk hukum yang mengatur penyelenggaraan fungsi Polri," ungkap Wibisono, dikuti pada Senin (10/6).

BACA JUGA: Polwan Bakar Suami yang Suka Judi, Analisis Reza Menyentil Polri

Seperti diketahui, DPR sepakat merevisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI yang disepakati menjadi inisiatif DPR. Revisi UU tersebut telah didasarkan pada paradigma baru yang menjadikan Polri berorientasi sipil.

Namun, Polri dinilai belum sepenuhnya mampu mewujudkan diri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

BACA JUGA: Respons Mabes Polri Soal Irjen Ahmad Luthfi Bakal Isi Jabatan Penting di Kemendag

“Pada dasarnya penyempurnaan RUU ini diarahkan untuk meningkatkan kinerja Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan masyarakat. Dengan penyempurnaan RUU ini diharapkan performa Kepolisian dapat meningkat dan pada saat yang bersamaan proses penegakan hukum berjalan semakin baik”, kata Wibisono.

Wibisono juga menilai terkait dengan identifikasi kelemahan RUU ini, maka bisa ditentukan solusi untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada.

Kewenangan Polri seperti dalam Pasal 14 terkait pengawasan ruang siber dan Pasal 16 terkait penyadapan dan intelijen dikhawatirkan dapat membuka celah penyalahgunaan kekuasaan dan minimnya pengawasan.

Oleh karena itu, mekanisme dan kriteria dalam penggunaan kewenangan baru tersebut harus diperjelas agar sesuai dengan asas transparansi dan akuntabilitas.

“Pemberian kewenangan kepada Polri untuk memutus akses ruang siber dikhawatirkan dapat disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi. Kewenangan penyadapan dan intelijen yang luas bagi Polri harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan ketat agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu”, tegas alumnus Turkish National Police Academy tersebut.

Wibisono kemudian menyebutkan argumentasi terkait dengan perpanjangan usia pensiun polisi pada RUU Polri Pasal 30 Ayat 2, yang menjadi 60 tahun dan 65 tahun jika menduduki jabatan fungsional.

“Segi positifnya masa usia pengabdian polisi kepada masyarakat juga semakin bertambah. Pengalaman panjang para perwira polisi tersebut dapat menjadi sumber knowledge yang berharga dalam peningkatan tata kelola kelembagaan kepolisian”, ungkapnya.

Kemudian, terkait batas usia pensiun Kapolri yang dapat diperpanjang melalui Keppres setelah mendapat persetujuan DPR, mendapatkan tanggapan darinya.

“Poin ini dapat mendukung sinkronisasi antara Presiden dengan Kapolri dalam rangka menjaga stabilitas politik dan pemerintahan. Masa jabatan Kapolri yang relatif tetap dapat menjamin terlaksananya kebijakan pemerintahan yang berkelanjutan”, ujar alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.

Menurut Wibisono, dengan berbagai rancangan pasal baru dan perluasan kewenangan, RUU Polri mendapatkan sorotan karena membuat Kepolisian nampak menjadi institusi superbody. Namun anggapan tersebut disanggah oleh Wibisono.

“Hal itu merupakan ketakutan yang berlebihan justru RUU ini akan membantu menyempurnakan kinerja Polri asalkan mekanismenya diatur secara seksama. Berbagai penambahan kewenangan yang dimuat harus disertai dengan pengaturan yang tegas mengenai mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kewenangan aparatur kepolisian”, katanya.

Wibisono menegaskan jika RUU Polri secara serius bermaksud menghasilkan institusi Kepolisian yang profesional dan akuntabel maka seharusnya juga menegaskan posisi Komisi Kode Etik Polri dan Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran.(mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Polri   Kepolisian   RUU Polri   DPR  

Terpopuler