JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Isran Noor meniai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih belum maksimal menyosialisasikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan putusan judicial review Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Sejumlah pasal dibatalkan MK karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini diungkapkan Isran Noor dalam acara Lokakarya Panitia Akuntabilitas Publik DPR RI bertema "Evaluasi Penyimpangan dalam Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP)" di Nusantara V, Kompleks MPR/DPR RI, Jum’at (31/5). Menurutnya, Pusat hanya berkewenangan hanya melakukan pengawasan dan evaluasi dalam penerbitan IUP
“UU Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi seharusnya diberikan kewenangan penuh melalui undang-undang, dan pusat hanya melakukan kewajibannya pengawalan, pengawasan, pembinaan dan evaluasi, agar sistem desentralisasi ini berjalan dengan baik, seharusnya pemerintah jangan sebagai eksekutor, seharusnya daerah yang menjadi eksekutor,” katanya.
Pernyataan Bupati Kutai Timur ini bukan tanpa alasan, sebab menurutnya kini investor merasa kesulitan dengan birokrasi perizinan yang harus melewati panjangnya birokrasi perizinan, yaitu didaerah dan pusat. “Padahal jika diserahkan saja pada daerah yang mengerti mengenai karakteristik darahnya sendiri akan lebih baik, kepala daerah juga saya yakin tidak akan sembarangan mengeluarkan izin pertambangan tersebut,” Ujarnya.
Dalam lokakarya yang menghadirkan pembicara antara lain Eddy Prasodjo dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, M. Said dari Dirjen Penggunaan Hutan Kementerian Kehutanan, Jaksa Agung Muda Untuk Tindak Pidana Umum Mahfud Mannan, dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Supriatna Suhala ini.
Isran menuturkan ada kesan bahwa terjadi tumpang tindih izin pertambangan di daerahnya pada lahan yang sama. “Padahal izin yang saya berikan itu walaupun pada lahan yang sama tapi berbeda komoditi, dan berbeda pula pemilik perusahaannya, ini untuk efisiensi lahan,” kata Isran yang juga bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Di Kutai Timur sendiri menurut Isran sudah ada Perda yang mengatur mengenai pemberian izin pertambangan, seperti batasan luas lahan yang akan dieksplorasi tidak boleh kurang dari 5000 hektar. “Ini untuk memastikan bahwa mereka benar-benar mampu untuk mengelola tambangnya, juga masalah jual beli izin, di tempat saya sangat dijaga ketat, kalo ada pelepasan saham berapapun kecilnya wajib diketahui kepala daerah, kalo tidak diberitahu, dan ketahuan saya cabut, inilah yang saya lakukan dan menyebabkan pemerintah indonesia digugat oleh perusahaan inggris, karena Ridlatama menjual sahamnya pada churchill secara ilegal,“ katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Supriatna Suhala, menurutnya pembatasan lahan eksplorasi yang dilakukan Pemkab Kutai Timur sangat tepat sekali, karena jika izin tersebut diberikan pada lahan-lahan yang kecil-kecil, misalnya 50 hektar atau 100 hektar, jika ada masalah dan mereka lari akan sulit melacaknya. “Sedangkan pada lahan besar seperti itu, bisa dipastikan perusahaan yang sudah mengeluarkan modal sebegitu besar tidak kan main-main dalam menjalankan usahanya, namun sayangnya belum semua kepala daerah berani menetapkan peraturan seperti itu,” Ujarnya.
Mengenai tumpang tindih izin, ia pun berpendapat tidak ada masalah, selama mereka berbdeda komoditi. “Yang satu misalnya menggali di bawah, dan diatasnya ada perkebunan, langkah ini merupakan Azas efisiensi,” Ujarnya.
Sementara itu Irman Gusman menambahkan bahwa memang seharusnya untuk pemberian izin sudah diberikan kepada daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan tidak ada penyalahgunaan, Seperti ada kasus membarikan ijin pada tambang yang sama tapi izinnya ada dua untuk komoditas yang sama, yang seperti ini hrs di tertibkan dulu, karena jumlah izin yang keluar itu luar biasa, ada 12 ribu izin, bagaimana cara menertibkannya itu yang sedang kita bahas dalam lokakarya ini,”pungkasnya. (jpnn)
Hal ini diungkapkan Isran Noor dalam acara Lokakarya Panitia Akuntabilitas Publik DPR RI bertema "Evaluasi Penyimpangan dalam Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP)" di Nusantara V, Kompleks MPR/DPR RI, Jum’at (31/5). Menurutnya, Pusat hanya berkewenangan hanya melakukan pengawasan dan evaluasi dalam penerbitan IUP
“UU Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi seharusnya diberikan kewenangan penuh melalui undang-undang, dan pusat hanya melakukan kewajibannya pengawalan, pengawasan, pembinaan dan evaluasi, agar sistem desentralisasi ini berjalan dengan baik, seharusnya pemerintah jangan sebagai eksekutor, seharusnya daerah yang menjadi eksekutor,” katanya.
Pernyataan Bupati Kutai Timur ini bukan tanpa alasan, sebab menurutnya kini investor merasa kesulitan dengan birokrasi perizinan yang harus melewati panjangnya birokrasi perizinan, yaitu didaerah dan pusat. “Padahal jika diserahkan saja pada daerah yang mengerti mengenai karakteristik darahnya sendiri akan lebih baik, kepala daerah juga saya yakin tidak akan sembarangan mengeluarkan izin pertambangan tersebut,” Ujarnya.
Dalam lokakarya yang menghadirkan pembicara antara lain Eddy Prasodjo dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, M. Said dari Dirjen Penggunaan Hutan Kementerian Kehutanan, Jaksa Agung Muda Untuk Tindak Pidana Umum Mahfud Mannan, dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Supriatna Suhala ini.
Isran menuturkan ada kesan bahwa terjadi tumpang tindih izin pertambangan di daerahnya pada lahan yang sama. “Padahal izin yang saya berikan itu walaupun pada lahan yang sama tapi berbeda komoditi, dan berbeda pula pemilik perusahaannya, ini untuk efisiensi lahan,” kata Isran yang juga bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Di Kutai Timur sendiri menurut Isran sudah ada Perda yang mengatur mengenai pemberian izin pertambangan, seperti batasan luas lahan yang akan dieksplorasi tidak boleh kurang dari 5000 hektar. “Ini untuk memastikan bahwa mereka benar-benar mampu untuk mengelola tambangnya, juga masalah jual beli izin, di tempat saya sangat dijaga ketat, kalo ada pelepasan saham berapapun kecilnya wajib diketahui kepala daerah, kalo tidak diberitahu, dan ketahuan saya cabut, inilah yang saya lakukan dan menyebabkan pemerintah indonesia digugat oleh perusahaan inggris, karena Ridlatama menjual sahamnya pada churchill secara ilegal,“ katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Supriatna Suhala, menurutnya pembatasan lahan eksplorasi yang dilakukan Pemkab Kutai Timur sangat tepat sekali, karena jika izin tersebut diberikan pada lahan-lahan yang kecil-kecil, misalnya 50 hektar atau 100 hektar, jika ada masalah dan mereka lari akan sulit melacaknya. “Sedangkan pada lahan besar seperti itu, bisa dipastikan perusahaan yang sudah mengeluarkan modal sebegitu besar tidak kan main-main dalam menjalankan usahanya, namun sayangnya belum semua kepala daerah berani menetapkan peraturan seperti itu,” Ujarnya.
Mengenai tumpang tindih izin, ia pun berpendapat tidak ada masalah, selama mereka berbdeda komoditi. “Yang satu misalnya menggali di bawah, dan diatasnya ada perkebunan, langkah ini merupakan Azas efisiensi,” Ujarnya.
Sementara itu Irman Gusman menambahkan bahwa memang seharusnya untuk pemberian izin sudah diberikan kepada daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan tidak ada penyalahgunaan, Seperti ada kasus membarikan ijin pada tambang yang sama tapi izinnya ada dua untuk komoditas yang sama, yang seperti ini hrs di tertibkan dulu, karena jumlah izin yang keluar itu luar biasa, ada 12 ribu izin, bagaimana cara menertibkannya itu yang sedang kita bahas dalam lokakarya ini,”pungkasnya. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... RUU Komponen Cadangan Perlu Dikaji
Redaktur : Tim Redaksi