Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (Sekjen PB IDI) dr Slamet Budiarto SH, MH menuturkan, pemerintah berencana mengkotakkan pelayanan warga miskin terpusat di puskesmas.
"Yang disayangkan untuk orang miskin, mereka nantinya harus ditangani oleh puskesmas. Padahal, masih banyak puskesmas yang pelayanannya masih di bawah standar," jelas Slamet di Jakarta, kemarin (9/10).
Slamet menuturkan, berdasarkan penilaian yang dilakukan IDI, kualitas pelayanan Puskesmas di masih di bawah standar. Sebagai contoh, lama pemeriksaan oleh dokter di puskesmas rata-rata hanya lima menit. Selain itu, banyak pasien yang diperiksa oleh SDM non dokter.
"Menurut standar IDI, pasien harusnya diperiksa setidaknya 15 sampai 20 menit. Dan itu harus dilakukan oleh dokter, tidak bisa oleh yang selain dokter. Ironisnya itu yang terjadi di puskesmas-puskesmas. Kalau mau jadi provider BPJS, puskesmas harus bisa penuhi standar pelayanan IDI," jelasnya.
Di samping itu, lanjut dia, rencana pemerintah untuk membedakan layanan kesehatan bagi warga miskin tersebut, menyalahi Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam pasal 23 UU SJSN menyatakan bahwa seluruh warga negara yang sakit boleh berobat ke klinik dan praktek dokter. "Tidak ada Puskesmas disebut dalam Undang Undang tersebut," jelasnya.
Tidak hanya itu, lanjut dia, Puskesmas juga belum memiliki ijin seperti yang termuat pada penjelasan pasal 23 UU SJSN. Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa sarana fasilitas kesehatan yg melayani BPJS harus diakui pemerintah dan mempunyai ijin. "Tapi sampai saat ini, puskesmas tidak ada yang mempunyai ijin. Jadi seharusnya tidak dapat melayani peserta BPJS," urainya.
Untuk itu, kata Slamet, seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkes tidak memaksakan hitungan premi sebesar Rp 22 ribu, dimana rinciannya Rp 16 ribu untuk rumah sakit dan "Rp 6 ribu diperuntukkan bagi dokter dan puskesmas. Jumlah premi Rp 6 ribu tersebut cukup dipaksakan.
""Karena kalau segitu, pelayanan kesehatannya juga kurang maksimal. Padahal kalau harus menyediakan obat dan lain-lain, setidaknya itu sekitar Rp 15 ribu. Di sisi lain, puskesmas harus diatur bahwa kapitasi nantinya masuk ke tenaga kesehatan, bukan PAD (Pendapatan Daerah)," imbuh dia.
Sementara itu, Wamenkes Ali Ghufron Mukti menuturkan pemerintah dan IDI memang belum mencapai kata sepakat. Namun, pihaknya mengklaim IDI sudah mulai memahami soal iuran BPJS versi pemerintah. Karena belum sepakat, kedua belah pihak akan kembali melakukan pertemuan untuk membahas iuran tersebut.
"Sebenarnya, kita sudah beberapa kali undang IDi untuk membicarakan BPJS. Tapi memang masih perlu ada pertemuan lagi, supaya nantinya ada titik temu antara kedua belah pihak, karena BPJS memang melibatkan banyak stakeholder," kata Ghufron. (Ken)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tindak Penyidik Polisi Pembangkang di KPK, Polri Tunggu PP
Redaktur : Tim Redaksi