jpnn.com, JAKARTA - Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Putu Supadma Rudana menilai pengelolaan museum harus lebih kreatif dan inovatif untuk menarik perhatian publik.
"Hal itu merupakan tantangan bagi pengelola museum agar setiap kegiatan museum yang berhubungan dengan publik dapat diterima dengan antusiasme yang tinggi," ujar Putu dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
BACA JUGA: Ketua AMI: Koleksi Museum Merupakan Cermin Kekayaan Bangsa
Putu menilai salah satu tugas museum itu untuk mengkomunikasikan koleksi beserta kekayaan kisah di dalamnya, sehingga pengelola museum harus giat menggali kisah-kisah secara lebih dalam.
Putu juga mendukung pameran yang digelar Museum DPR RI yang mengusung tema “Rumah Rakyat: Gedung-Gedung DPR RI dari Masa ke Masa”.
BACA JUGA: Kemenag Siapkan Aturan Baru soal Pembentukan Komunitas Eco-Masjid
“Saya mendukung pameran ini karena sesuai langkah AMI yang bergerak bersama museum-museum yang berada di keanggotaan AMI, untuk mengakselerasi penyebaran gagasan serta implementasi nilai-nilai luhur kultural bangsa dalam kehidupan kemasyarakatan kita,” jelasnya.
Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat ini menyinggung sekilas pembangunan Gedung DPR/MPR RI yang dibangun di masa Pemerintahan Presiden Soekarno (Bung Karno).
BACA JUGA: Diva Amelia, Siswi SMP yang Hilang Ditemukan, Oalah, Ternyata
Menurut dia, awalnya Gedung MPR/DPR RI dibangun untuk menyelenggarakan Conference of the New Emerging Forces (CONEFO).
Saat itu, Conefo adalah wadah dari semua New Emerging Forces. Hal itu dimaksudkan sebagai suatu tandingan terhadap keberadaan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Putu mengatakan Soekarno mengeluarkan tantangan untuk membangun Gedung Conefo dengan beberapa syarat karena ingin membangun gedung Conefo lebih megah dari markas besar PBB di New York.
"Kedua, ia harus lebih bagus dari People Palace di Beijing. Ketiga, pembangunan ini harus selesai dalam waktu satu tahun karena Conefo akan diselenggarakan akhir tahun 1966. Kemudian, pembangunan dilanjutkan era Presiden Soeharto," ungkapnya.
Menurut dia, pada tahun 1993 Gedung DPR/ MPR RI menjadi cagar budaya pada 1993, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-Bangunan Bersejarah di DKI Jakarta sebagai Benda Cagar Budaya.
"Sayangnya pengakuan sebagai cagar budaya tidak bersifat nasional yang dilandasi UU terkait," katanya.
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI itu menjelaskan Gedung Nusantara hingga saat ini telah memasuki usia 57 tahun, terhitung sejak rancang bangun Soejoedi disahkan dalam keputusan presiden.
Putu mengatakan tidak bisa dipungkiri eksistensi Gedung Nusantara melekat erat dengan sejarah bangsa dan negara Indonesia.
"Banyak nilai sejarah yang patut kita pelajari dari keberadaan Gedung Nusantara. Gedung Nusantara memiliki arti khusus bagi sejarah perjuangan dan pembangunan bangsa Indonesia," katanya.
Menurut dia, gedung-gedung yang pernah digunakan DPR, bukan hanya sekadar bangunan fisik, namun menyimpan nilai-nilai sejarah tentang kiprah DPR RI di tata kenegaraan dan pemerintahan Indonesia.
"Di dalam gedung, ada anggota-anggota Dewan yang menyuarakan suara rakyat yang diwakilinya. Di dalam gedung, juga terlihat para anggota Dewan dan Pemerintah, saling berkerja untuk menghasilkan produk hukum yang bermuara pada kesejahteraan rakyat," pungkasnya.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean